Pertama, persembahan diberikan dengan kesadaran bahwa segala sesuatu diperoleh dari, oleh dan kepada Dia. Motivasi persembahan terpenting yang membedakan semua konsep agama dengan iman Kristen yaitu kesadaran bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan yang dipercayakan kepada manusia. Maka tak seorang pun berhak mengambil walau hanya sebagian kecil dari seluruh hakekat hidup dan keberadaan dirinya. Sesungguhnya, konsep Rm 11:36 telah dimengerti dan dipegang oleh Ayub yang jauh lebih tua dari penulis Kitab Kejadian yaitu Musa. Walaupun manusia memiliki keahlian, ilmu, kepandaian, ketrampilan, tenaga dan kesempatan hingga mampu bekerja, semua itu bukanlah hasil usaha serta kehebatannya sendiri melainkan anugerah Tuhan.
Konsep mandat budaya Kristen mengajarkan tidak hanya preserve the world seperti konsep New Age melainkan preserve and develop the world (memelihara dan mengusahakan dunia). Sedangkan dunia mengajarkan untuk menghancurkan dan mengatur segala sesuatu sesuka hati. Namun mereka tidak mampu melakukannya karena sejak pertama kali dunia diciptakan, Tuhan telah menatanya dengan sangat indah. Dengan bijaksanaNya, Ia tidak berkenan menciptakan manusia pada hari pertama karena keadaan dunia masih chaos dan kemungkinan belum ada oksigen. Tiga hari pertama, Ia menata seluruh alam semesta dengan sangat rapi. Setelah itu, Ia menciptakan binatang dan tumbuhan. Lalu yang terakhir barulah manusia.
Konsep perpuluhan Kristen mengajarkan bahwa manusia menerima berkat Tuhan terlebih dahulu kemudian harus mengembalikan sebagian dari berkat itu kepadaNya. Tanpa berkat Tuhan sedikitpun, tak ada yang dapat dipersembahkan. Selain itu, Perjanjian Baru tidak pernah mengatakan berapa persen persembahan karena yang terpenting adalah jiwa, semangat dan kesadaran akan anugerah Tuhan hingga rela mempersembahkan seluruh tubuh sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepadaNya.
Kedua, Rm 11:36-12:1 merupakan salah satu aspek yang membedakan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Menurut Perjanjian Lama, persembahan diwujudkan dalam bentuk binatang yang dikorbankan. Namun sebenarnya itu bukanlah persembahan yang asli karena hanya mengacu pada pengorbanan Kristus. Ketika berada dalam dosa, manusia harus mati dan tidak mampu berbuat sesuatu karena telah menjadi budak dosa. Setelah korban dosa ditebus oleh Kristus dengan kematianNya di kayu salib maka orang Kristen dapat melakukan persembahan sejati yaitu tubuhnya sendiri yang telah diperbaharui sebagai persembahan yang hidup dan lambang pengabdian hidup kepadaNya. Itulah alasan mengapa Tuhan menghendaki hanya orang-orang ‘hidup’ (secara spiritual) yang memberikan persembahan.
Kalau setiap anak Tuhan hidup mengabdi dan melayani dengan baik, jiwanya akan penuh dengan pengertian persembahan karena sudah belajar menyerahkan hidupnya. Di desa, setiap jemaat merasa ikut bertanggung jawab atas rumah Tuhan. Karena itu, mereka bekerja sama membangunnya dengan pengabdian seluruh hidup. Motivasi, sikap, sifat dan jiwa mereka sangat baik. Kalau di kota, biasanya jemaat mengumpulkan dana bagi pekerjaan Tuhan. Namun motivasinya harus tetap dipertahankan dan tidak boleh bergeser dari yang seharusnya.
Ketiga, Alkitab mengajarkan bahwa persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Tuhan merupakan ibadah sejati (the true worship). Sedangkan kebaktian adalah salah satu format ibadah dimana semua orang Kristen datang menyembah dan mendengarkan Firman Tuhan lalu bersekutu, berkomitmen serta ‘membungkukkan diri’ (ibadah = abodah = to bow down) yang menggambarkan ketaatan hati, penyerahan dan penaklukkan diri pada kehendak Tuhan secara mutlak dengan kerelaan. Sedangkan ibadah sejati mencakup seluruh totalitas hidup dan keberadaan manusia. Maka persembahan menjadi tanda penundukkan diri orang Kristen kepada Tuhan. Dengan demikian, hidupnya akan penuh ketaatan melalui persembahan.
Di dunia ini terdapat filsafat ‘Di mana uangmu berada, di situ hatimu berada’. Hal ini akan terjadi bila manusia mulai mengejar uang. Yang benar justru sebaliknya, ‘Di mana hatimu berada, biarlah uang dan seluruh tubuhmu juga ke sana’. Persembahan Kristen harus diarahkan dalam visi dan motivasi yang berhubungan dengan Tuhan serta seluruh hidup seharusnya dipakai untuk mempermuliakanNya. Soli Deo Gloria (Rm 11:36). Dengan konsep ini, seluruh sikap dan perjalanan pelayanan persembahan Kristen akan sampai pada implikasinya dan tepat seperti yang Tuhan kehendaki. Ia menginginkan setiap anakNya dipakai untuk mengatur dan mengelola setiap hal yang dimiliki. Dengan jiwa seperti ini, orang Kristen akan mampu bekerja secara teliti, intens dan serius serta mempertanggungjawabkannya dengan baik. Ketika mengerjakan pelayanan bagi Tuhan, diharapkan tidak sekedar bekerja melainkan sesuai dengan tuntutan kualitas yang sangat tinggi dan motivasi, “I do it for God”. Spirit ini membuat semua pelayanan Tuhan dikerjakan dengan hasil terbaik. Maka dalam Kol 2:7 dikatakan, “Hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.” Inilah keinginan untuk mempermuliakan Tuhan dan memberikan yang terbaik bagiNya.
Persembahan dan Korban
Persembahan adalah korban (offering/sacrifice). Sebelum mulai melayani Tuhan, orang Kristen harus menggumulkan dan menetapkan motivasinya secara tegas. Jika tidak, fondasi pelayanannya pasti sangat lemah hingga akhirnya berubah menjadi boomerang yang menghancurkan diri sendiri. Selama dasar pijaknya tidak tepat, ketika mulai melangkah dan belum ada tantangan maka tidak akan terjadi apapun. Namun ketika tantangan mulai bermunculan secara mendadak, ia pasti langsung collaps (runtuh). Seharusnya, ia memiliki konsep pemikiran bahwa Tuhan memanggilnya sebagai imamat rajani (I Ptr 2:9) sehingga mampu memahami hubungannya dengan Tuhan dan apa yang harus dikerjakan dalam pelayanan. Kuncinya adalah kaitan antara persembahan dan korban.
Perjanjian Lama sangat keras membicarakan tentang korban, sedangkan Perjanjian Baru tidak pernah menyinggungnya. Ada 2 alasan penting: (1)Korban Perjanjian Lama mengarah kepada Kristus. Setelah digenapkanNya dengan kematian di kayu salib maka jemaat tidak dituntut untuk melakukannya lagi. (2)Tetapi, bukan berarti konsep korban dibuang karena terdapat 1 kunci penting yang tetap dijalankan secara konsisten yaitu bahwa korban merupakan pernyataan perdamaian sebagai anugerah Tuhan bagi manusia sehingga dapat kembali kepadaNya. Kedua hal di atas perlu dikaitkan secara serius. Ironisnya, ada orang Kristen yang menganggap persembahan sebagai sedekah (uang kecil) sama seperti ketika memberi uang Rp 100,- pada pengamen dan pengemis di jalan. Jadi, ketika kantong kolekte tiba di hadapannya maka ia langsung mencari uang terkecil dalam dompet.
Perjanjian Lama mengajarkan bahwa ketika datang ke bait Allah, jemaat harus membawa korban. Di Imamat dicatat 5 macam korban: (1)korban bakaran, (2)korban sajian, (3)korban keselamatan, (4)korban penghapus dosa dan (5)korban penebus salah. Korban bakaran adalah simbol pengertian jemaat bahwa mereka seharusnya binasa, sekaligus pernyataan syukur karena telah diperdamaikan kembali dengan Allah. Caranya, dengan membawa ternak terbaik dan sebelum disembelih, tangan si pemilik harus diletakkan di atas kepala binatang itu. Artinya, manusia telah berbuat dosa dan seharusnya mendapat murka Tuhan namun hukuman itu dipindahkan ke binatang korban. Bagaimanapun juga, lambang asli persembahan korban adalah Tuhan Yesus yang menanggung dosa manusia. Dan setelah disembelih, binatang tersebut harus dibakar secara keseluruhan di hadapan Tuhan sebagai persembahan yang harum.
Korban sajian dipersembahkan setelah mendapatkan nafkah hidup. Pada jaman itu, hanya ada 2 macam nafkah hidup: (1)pertanian dan (2)peternakan. Kemudian sepersepuluh hasil terbaik dipersembahkan demi kemuliaan Tuhan. Tapi, tak semuanya dibakar di atas mezbah melainkan hanya sebagian saja sebagai tanda ucapan syukur dan juga melambangkan bahwa hidup manusia adalah anugerah Tuhan.
Korban keselamatan berupa ternak tak bercela yang dibawa ke hadapan Tuhan. Korban ini tidak berurusan dengan dosa melainkan sebagai bakaran bagi Allah setiap kali datang ke baitNya. Sebelum disembelih, si pemilik juga harus meletakkan tangan di atas kepala binatang korban sebagai lambang keselamatan yang dianugerahkan Tuhan baginya sehingga tidak binasa dalam dosa. Ia dapat bertahan hidup hingga saat itu dan mengenal Allah merupakan anugerah Tuhan. Setelah disembelih, segala lemak, isi perut, buah ping¬gang dan umbai hatinya harus dibakar dan dipersembahkan bagi Tuhan.
Korban penghapus dosa melambangkan kesadaran manusia (termasuk para imam) akan dosa lalu bersedia mengaku. Korban tersebut berupa lembu jantan muda yang disembelih dan dibakar di atas mezbah namun hanya lemak, isi perut, buah pinggang serta umbai hatinya sebagai bagian terharum. Sedangkan seluruh bagian lain harus dibakar di luar perkemahan karena Kemah Pertemuan tidak boleh dicemari. Sebelum disembelih, si pendosa harus meletakkan tangan di atas kepala lembu itu. Korban ini merupakan manifestasi nubuat tentang Tuhan Yesus yang disalibkan di luar kota Yerusalem demi menanggung dosa umat manusia. Selain itu, peristiwa ini menggambarkan betapa Tuhan tidak dapat menerima dosa dan diperlukan upaya pendamaian yang harus dijalankan manusia dengan kesungguhan hati serta kesetiaan.
Korban penebus salah dilakukan setelah berbuat dosa tanpa sengaja karena kelalaian. Misalnya, secara tak sengaja melupakan janji dengan seseorang atau menabrak binatang piaraan orang lain hingga mati. Imamat mengajarkan bahwa si pelaku harus mengganti kerugian lalu mempersembahkan korban di bait Allah.
0 komentar:
Posting Komentar