-->

Profil Hamba Tuhan

Foto saya
Jakarta, Indonesia
Seorang Hamba Tuhan yang memiliki kerinduan untuk dapat memberkati banyak orang melalui Pastoral Konseling, dengan berbagai hal dan cara, salah satunya adalah melalui fasilitas dunia maya (Internet). Riwayat Pendidikan Teologi: - Sarjana Theology (S. Th) jurusan teologi, 1999. - Master of Art (M. A) jurusan Christian Ministry, 2002. - Master of theology (M. Th)Thn 2010. - Doctor of Ministry (D. Min)Thn 2009. God Bless You All.

Pendahuluan

Shallom, selamat datang di blog saya Pdt. Denny Harseno, M. A., D. Min. Saudara, saya senang sekali jika dapat memberkati saudara sekalian melalui setiap tulisan-tulisan dan artikel-artikel yang ada pada blog ini. Jika saudara ingin membaca setiap tulisan-tulisan dan artikel-artikel terdahulu yang ada pada blog ini, saudara cukup memilih label daftar isi blog atau dengan memilih pada arsip blog yang ada di samping kiri blog ini, dan silahkan mengisi buku tamu blog saya dibawahnya, agar saya dapat mengetahui siapa saja yang telah berkunjung diblog saya. Terima kasih atas perhatiannya, Tuhan Yesus Kristus memberkati.

04 Juli 2009

BEKERJALAH bagian II

Ini yang harus kita waspadai karena kalau hal ini terjadi maka langsung ada beberapa filsafat yang akan membuka mulutnya untuk menelan kita.

1). Hedonisme (filsafat Garfield). Garfield adalah satu figur yang sengaja disodorkan sebagai figur hedonisme modern yang selalu menyodorkan filosofi hedonostik dengan slogan dan penampilannya yang menggambarkan kemalasan kerja.

2). Utilitarianisme

3). Humanisme. Filsafat ini sengaja ditiupkan supaya akhirnya menimbulkan dampak orang ingin mendapatkan keuntungan secara membabi buta dan mendapatkan perlakuan yang sangat baik padahal ia tidak bekerja.

Orang Kristen harus belajar menempatkan belas kasihan secara tepat. Berdasarkan etos kerja, seseorang berhak mendapatkan upahnya dan hidup secara layak. Dunia kita ini selalu mengalami penyimpangan dalam pola berpikir kerja karena filsafat dunia berusaha menyodorkan konsep-konsep yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan kebenaran Firman. Bagaimana saudara dan saya, dengan jiwa dan sistem kerja yang kita pakai? Bagaimana saudara dan saya menjadi orang-orang yang dipakai Tuhan untuk bekerja di tengah dunia secara tepat serta bagaimana kita menularkan prinsip dan etos kerja kepada orang lain, sehingga banyak orang yang disadarkan bahwa cara kerja yang tidak beres akan merusak seluruh masyarakat. Cara kerja yang tepat, yang kembali kepada Firman adalah yang membawa kita kepada kebenaran.

Beberapa saat ini kita terus memikirkan tentang bagaimana Kekristenan menegakkan prinsip etos kerjanya. Kekristenan adalah manusia yang secara natur dalam dirinya dicipta dengan jiwa dan natur bekerja, seperti dalam Alkitab dikatakan mengusahakan dan memelihara taman dan itu dijalankan secara seimbang. Hal itu sesuai dengan prinsip dasar ekonomi (oikos-nomos) yaitu bagaimana kita diberi akal budi dan kemampuan, dipanggil oleh Tuhan menjadi pengelola sehingga menyejahterakan semua bagian. Manusia diberi kuasa pengelolaan namun juga harus bertanggungjawab terhadap pemberi otoritas, sehingga ketika bekerja itu harus direlasikan dengan bertanggungjawab terhadap Tuhan. Ini yang menjadikan kita harus sadar posisi kita secara tepat.

Waktu saya sedang mengumulkan hal ini, salah satu masalah yang paling serius dibicarakan dalam bagian ini adalah dalam II Tes 3 dimana seolah-olah Kekristenan menjadi agama yang penuh cinta kasih sehingga harus berbelas kasihan, memberikan segala sesuatu dan memperhatikan kemiskinan dengan luar biasa. Kekristenan memang merupakan agama cinta kasih tetapi itu tidak sedemikian saja dilakukan karena kita harus mengerti bagaimana memberi secara tepat. Sehingga Paulus mengingatkan dengan perkataan, "Kami katakan ini karena kami dengar, bahwa ada orang yang tidak tertib hidupnya dan tidak bekerja, melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna" (II Tes 3:11). Dan dikatakannya pula, "…, jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." Saya rasa prinsip ini harus tegas sehingga kita mengerti bagaimana kita harus berdaya guna. Ketika mempersiapkan bagian ini, saya tertarik dengan satu buku yang ditulis dua orang Belanda, profesor bidang sosiologi dan sosial dari World Council of Churches (Dewan Gereja-gereja sedunia). Buku "Dibalik Kemiskinan dan Kemakmuran" (Beyond Poverty & Affluence) oleh Bob Goudzwaard & Harry de Lange diterbitkan Yayasan Kanisius, 1998. Di dalam membicarakan aspek kekayaan dan kemiskinan, mereka mengemukakan 6 paradoks permasalahan yang kita hadapi. Mereka membuka fakta 6 paradoks ditengah abad modern yang berkembang yang kelihatannya sangat bertentangan tetapi sebenarnya sangat terkait satu sama lain.

Pertama, Paradoks Kelangkaan. Ditengah kekayaan manusia yang seharusnya dapat dipakai untuk mengelola kesejahteraan manusia tetapi justru terjadi kelangkaaan yang bukan disebabkan oleh tidak adanya kekuatan mendayagunakan namun karena begitu banyak produksi yang diperlakukan secara tidak beres. Berjuta liter susu dibuang di sungai padahal banyak anak dalam kondisi kekurangan gizi dan membutuhkan susu. Demikian juga halnya dengan jeruk yang seharusnya dapat menjadi vitamin tanpa harus minum minuman yang mengandung bahan kimia tetapi itu semua dihancurkan demi harga produksi menjadi tidak murah. Ketika daya begitu besar, pada saat yang sama terjadi pengerusakan dan penghancuran sumber yang seharusnya dapat dipakai oleh manusia.

Kedua, Paradoks Kemiskinan. Ketika negera-negara adidaya semakin kaya, namun peningkatan kemiskinan persentasinya lebih besar daripada peningkatan incomenya karena hanya sekelompok orang yang bertambah kaya. Seperti yang pernah saya katakan bahwa jikalau tidak hati-hati maka di Indonesia akan tercipta generasi pengemis dan orang-orang yang menciptakan citra kemiskinan masa depan. Karena sistem, pola dari cara kerja atau kebijaksanaan pemerintah telah kehilangan harga diri sehingga menjadikan kita mudah menjadi pengemis. Sungguh paradoks karena disatu pihak kita melihat dunia semakin hari semakin sejahtera dan makmur namun kenyataannya tidak meniadakan jumlah pengemis yang semakin meningkat jumlahnya.

Ketiga, Paradoks Sensitifitas Keperdulian. Disatu pihak harusnya setiap kita makin maju dan makmur, semakin memikirkan kesejahteraan orang lain tetapi justru sebaliknya, berpikir bagaimana dapat menggunakan dan memanipulasi orang lain. Karena etos dan format kerja yang dicipta begitu rupa dengan jiwa utilitarian yang begitu menguasai dan mencengkeram seluruh cara hidup kita.


0 komentar:

Posting Komentar