-->

Profil Hamba Tuhan

Foto saya
Jakarta, Indonesia
Seorang Hamba Tuhan yang memiliki kerinduan untuk dapat memberkati banyak orang melalui Pastoral Konseling, dengan berbagai hal dan cara, salah satunya adalah melalui fasilitas dunia maya (Internet). Riwayat Pendidikan Teologi: - Sarjana Theology (S. Th) jurusan teologi, 1999. - Master of Art (M. A) jurusan Christian Ministry, 2002. - Master of theology (M. Th)Thn 2010. - Doctor of Ministry (D. Min)Thn 2009. God Bless You All.

Pendahuluan

Shallom, selamat datang di blog saya Pdt. Denny Harseno, M. A., D. Min. Saudara, saya senang sekali jika dapat memberkati saudara sekalian melalui setiap tulisan-tulisan dan artikel-artikel yang ada pada blog ini. Jika saudara ingin membaca setiap tulisan-tulisan dan artikel-artikel terdahulu yang ada pada blog ini, saudara cukup memilih label daftar isi blog atau dengan memilih pada arsip blog yang ada di samping kiri blog ini, dan silahkan mengisi buku tamu blog saya dibawahnya, agar saya dapat mengetahui siapa saja yang telah berkunjung diblog saya. Terima kasih atas perhatiannya, Tuhan Yesus Kristus memberkati.

20 Februari 2010

Bukan Kekuatan Kata



Nats: I Korintus 4:20

20 Sebab Kerajaan Allah bukan terdiri dari perkataan, tetapi dari kuasa.
SURAT kepada jemaat di Korintus ditulis oleh Rasul Paulus di
kota Efesus pada kira-kira tahun 57 M. Di kota Korintus berdiri
dengan megah kuil Venus (Aphrodite). Di dalam kuil tersebut
terdapat sekitar 1000 wanita yang melakukan praktik prostitusi
atas nama pemujaan terhadap dewa. Besarnya pengaruh negatif
kuil tersebut memunculkan istilah yang populer pada masa itu:
corinthianize, yang diartikan dengan: “praktik prostitusi dan pesta
pora”. Itulah sebabnya, Paulus bekerja ekstra keras di kota ini. Ia
harus melepaskan penduduk kota ini dari cara hidup mereka yang
masih memegang tradisi lama, yakni kepercayaan terhadap dewa-dewa,
praktik kemaksiatan secara bebas, pesta pora, dll. Di samping
itu, Paulus juga mesti menghadapi dua pewarta lain yang sama-sama
membawa nama Kristus sebagai subyek pewartaan. Mereka
adalah: Apolos (filsuf Yahudi dari Alexandria) dan Kefas (Petrus);
mereka mendirikan faksi-faksi umat Kristen yang terpisah dari
Paulus. Pengaruh keduanya kemudian membuat jemaat Korintus
terbagi menjadi tiga golongan: Ada golongan Paulus, Apolos dan
Petrus (I Kor. 1:12). Apolos dan Petrus merupakan pendukung
setia ajaran Yahudi – hal ini bertentangan dengan ajaran Paulus.
Paulus menekankan bahwa di dalam Kristus, semua adalah sama
dan satu di dalam Dia (I Kor. 12:13).

Dalam rangka misi pewartaan Kristus di Korintus, Rasul Paulus
tidak hanya menghadapi beberapa tantangan besar seperti tersebut
di atas. Ia juga menghadapi internal affair: tantangan dari dalam
jemaatnya sendiri. Tantangan ini jauh lebih berat.
Jemaat Korintus adalah jemaat yang didirikan oleh Paulus pada
perjalanan misinya yang kedua (Kis. 18:1-18). Oleh karena itulah
Paulus menyebut dirinya sebagai bapa rohani mereka (I Kor. 4:15).
Namun kemudian, di dalam jemaat ini, muncul beberapa orang
yang menjadi sombong (I Kor. 4:18). Dalam suratnya, Paulus
menyoroti mereka – ia ingin bertemu dengan mereka. Apa
sebenarnya yang mereka sombongkan? Orang-orang ini
menyombongkan perkataan mereka. Perkataan tentang apa? Jika
kita menelaah I Korintus 4:18-21, dapat ditarik kesimpulan, bahwa
orang-orang tersebut menyombongkan “pemahaman dan
pengetahuan” mereka tentang firman. Jemaat Korintus dikenal
sebagai jemaat yang mempunyai banyak karunia rohani (I Kor. 12).
Dalam kaitan itu, Paulus juga menulis: Sebab di dalam Dia kamu
telah menjadi kaya dalam segala hal: dalam segala macam perkataan dan
segala macam pengetahuan, sesuai dengan kesaksian tentang Kristus, yang
telah diteguhkan di antara kamu. Demikianlah kamu tidak kekurangan
dalam suatu karuniapun sementara kamu menantikan penyataan Tuhan
kita Yesus Kristus (I Kor. 1:5-7). Jadi sekali lagi, orang-orang tersebut
merasa telah ‘kaya’ dengan segala macam perkataan dan
pengetahuan tentang firman. Terhadap hal itulah, Paulus dengan
tegas mengatakan: Sebab Kerajaan Allah bukan terdiri dari perkataan,
tetapi dari kuasa. Dalam alkitab berbahasa Inggris (English Amplified
Bible = Easy English Bible), ayat tersebut ditulis: For the kingdom of
God consists of and is based on not talk but power (moral power and excellence
of soul). Perhatikan kata-kata dalam tanda kurung: moral power and
excellence of soul. Kata-kata tersebut dapat diterjemahkan dengan:
“kekuatan moral dan keunggulan jiwa”. Hal ini semakin diperjelas
lagi dengan terjemahan alkitab bahasa Indonesia sehari-hari (BIS),
yang berbunyi: Karena kalau Allah memerintah hidup seseorang, hal itu
dibuktikan oleh kekuatan hidup orang itu, bukan oleh kata-katanya.
Menjadi jelas, bahwa orang beriman, sejatinya bukan sekadar
paham betul firman Tuhan; bukan cuma fasih firman. Lebih
daripada itu, orang beriman yang asli adalah orang yang memiliki
gaya hidup bermoral tinggi; mempunyai integritas yang kuat. Kata
“integritas”, menurut Webster’s Third International Dictionary (1981),
Oxford Dictionary (1963), dan An English-Indonesian Dictionary, by John
M. Echols and Hassan Shadily (1975). Dijelaskan bahwa: Integrity
artinya wholeness, mengenai “keseluruhan”; uprightness dan honesty,
artinya “ketulusan hati” dan “kejujuran”. Dijelaskan pula, bahwa
integrity itu berarti: an uncompromising adherance to a code of moral,
artinya: dedikasi yang tak tergoyakan terhadap kode moral.
Pengikut Yesus yang merasa telah memahami banyak firman
dan menjadi sombong karenanya, bukan hanya ada di jaman Paulus
– orang Kristen model begini banyak pula terdapat di gereja Tuhan
masa kini. Sadar atau tidak (faktanya: kebanyakan mereka sadar),
orang-orang seperti itu menganggap diri sudah rohani, bahkan paling
rohani di ‘lingkungannya’. Jemaat lain di sekitar mereka yang
memperhatikan, kemudian menyebut mereka sebagai ‘orang yang
sombong rohani’. Istilah ini menjadi populer di kalangan jemaat.
Sebenarnya, istilah “sombong rohani” ini tidak tepat. Tidak tepat,
karena orang sombong tidak bisa menjadi rohani (yang sejati). Ia
mungkin bisa menjadi rohaniwan (sekadar sebagai status/
kedudukan gerejawi), tetapi tidak pernah bisa menjadi rohani yang
sesungguhnya. Sebaliknya, orang yang rohani tidak boleh ada
kesombongan – bukan tidak bisa sombong, tetapi sejatinya, orang
rohani tidak boleh sombong; ia pasti selalu berusaha merendahkan
dirinya (I Kor. 13:4). Ia tahu diri. Ia tahu Tuhan; tanpa Tuhan, ia
sadar, ia bukan apa-apa.

Kesombongan dalam bentuk apapun, itu sangat ditentang oleh
Tuhan (I Sam. 2:3; Ams. 6:16-17). Kesombongan adalah kejahatan.
Kesombongan adalah dosa. Kesombongan itu sejajar dengan dosa
perzinahan, percabulan, iri hati, dll (Mrk. 7:21-23).
Orang yang rohani tidak akan menunjukkan ‘kekuatan’ berkata-kata
dan prilaku yang didasari kesombongan; karena dengan
sendirinya, di manapun ia berada, ia akan menampilkan ‘kekuatan’
cara hidup yang menyukakan hati orang-orang di sekitarnya.
Totalitas dirinya menampakkan segala praktik hidup yang bermoral
tinggi yang didasari ketulusan hati dan kejujuran. Keberadaannya
akan selalu ditunggu. Ketiadaannya akan selalu dirindu. Alangkah
indahnya lingkungan di mana kita ada, jika mendapati diri kita dan
orang lain berkualitas hidup sedemikian itu. Jika begitu adanya,
maka bila Anak Manusia itu datang, Ia akan mendapati iman di
bumi.












09 Februari 2010

Kecewa, Untuk Apa?




Nats: Matius 11:6


6 Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku.”

KECEWA, oh semua orang pernah mengalaminya, bahkan mungkin

kini sementara dialami oleh anda. Menurut www.wikipedia.org,

kecewa berarti: “tidak puas”, “tidak senang” atau “berkecil hati”.

Dari definisi ini, jelas bahwa sulit memang untuk tidak kecewa.

Makanya ada orang bilang, kecewa itu manusiawi; sah-sah saja.

Nats di atas adalah perkataan Yesus perihal kecewa. Tuhan

Yesus berkata, berbahagialah orang yang “tidak menjadi kecewa”.

Dengan kata lain, sangat bisa sebenarnya untuk tidak perlu kecewa.

Konsep kebanyakan bilang, kecewa itu sah-sah saja, tetapi Tuhan

Yesus menekankan untuk tidak menjadi kecewa; tidak mesti

kecewa; tidak harus kecewa.

Sebenarnya, ketika kita merasa kecewa terhadap siapapun dan

apapun, itu berarti kehidupan kita sangat bergantung kepada yang

mengecewakan itu. Inilah sebabnya yang membuat manusia sangat

rapuh dengan kekecewaan. Mudah kecewa, akhirnya menjadi tidak

produktif, pasif dan kehilangan inisiatif.

Apabila anda meletakkan harapan kebahagiaan, kenikamatan

dan kesenangan hidupmu kepada seseorang (isteri, suami, anak,

kerabat, teman, pendeta, dan siapapun), maka anda akan ‘menuntut’

mereka untuk wajib memberikan kebahagiaan itu. Jika mereka tidak

dapat memenuhi harapan anda itu, maka anda pun kecewa. Sampai

di sini membaca tulisan ini, mungkin anda merasa hal ini biasabiasa

saja, tetapi anda tahu, sikap dan suasana hati yang kecewa,

berarti masih ada ‘berhala’ lain dalam anda menyelenggarakan hidup

selama ini. Berhala lain itu berwujud manusia: Istri, suami, anak,

mertua, orang tua, pendeta, teman, dll. Sadarkah anda kini?

Temukan ‘berhala’ itu dan robohkanlah!

Beberapa jam sebelum disalibkan, para murid Yesus begitu

berapi-api menegaskan tekad untuk setia sampai mati di sisi Yesus.

Kenyataannya, mereka kabur menyelamatkan diri masing-masing

manakala Yesus ditangkap. Ketika Yesus disalibkan pun, tidak

semua murid datang melihat; yang ada pun berdiri jauh-jauh.

Apakah Tuhan Yesus kecewa? Tidak. Wajarkah jika Tuhan Yesus

kecewa? Sangat wajar. Namun, Tuhan Yesus tidak kecewa sama

sekali. Inilah yang membedakan kita dengan-Nya. Bukan karena

Dia Tuhan. Ingat, pada waktu Yesus hidup dan melayani di tanah

Palestina dan sekitarnya itu, naturnya adalah manusia bukan dewa.

Jadi, Dia pun bisa kecewa; kecewa dengan ulah para murid yang

pengecut itu – harusnya. Tetapi, Yesus tidak menjadi kecewa. Apa

sebabnya demikian?

Pertama, Yesus tahu, bahwa rencana Allah harus digenapi di

dalam Dia dan melalui Dia, agar umat manusia beroleh jaminan

keselamatan kekal apabila percaya kepada Allah. Ini penting bagi

kita! Penting, karena tanpa kita menyadari maksud eksistensi kita

ada di dunia ini, kita akan mudah menjadi kecewa dengan apapun,

siapapun, di manapun dan sampai kapanpun.

Anda dan saya diciptakan Tuhan dengan maksud mulia. Kita

ada di sini, hari ini, di bumi ini, dengan suatu tujuan khusus dan

mulia. Tidak ada anak haram dalam pemandangan Allah; itu

sebutan manusia yang mereduksi nilai mulia seorang manusia. Kita

semua sama dalam pemandangan Allah. Kita diciptakan menurut

gambar dan rupa Allah. Kita sama derajatnya sebagai manusia,

subyek dan obyek Allah untuk rencana-Nya. Kita hanya berbeda

dalam proses dan cara lahir, pertumbuhan, fasilitas hidup dan

kesempatan. Selebihnya, semua kita sama berharganya di hadapan

Tuhan. Jadi, menyadari betapa bernilainya anda dan saya bagi

Tuhan, maka kita tidak harus menjadi kecewa apabila apa yang

kita harapkan dari Tuhan tidak terkabulkan. Sebab, hidup yang

Tuhan anugerahkan ini sudah lebih dari cukup untuk dinikmati

dan dijalani. Kita malah bersyukur semestinya, karena Tuhan mau

memakai kita sebagai rekan sekerja-Nya; menjadi subyek bagi

keselamatan manusia yang lain.

Kedua, Yesus hidup dalam realita. Yesus realistis, bahwa para

murid-Nya sedang dalam pertumbuhan rohani yang belum matang.

Hal ini membuat Yesus tidak kecewa terhadap satu pun murid-

Nya yang meninggalkan Dia justru di saat genting. Setelah bangkit,

Yesus berinisiatif menemui para murid-Nya. Petrus khususnya, yang

menyangkal Dia, tidak lantas menjadi bulan-bulanan amarah-Nya.

Yesus malah menguatkan hati Petrus, dan memintanya untuk

menggembalan domba-domba-Nya. Yesus mengobati sendiri

kekecewaan Petrus karena menyangkal Sang Guru.

Realistislah, orang-orang di sekitarmu bukanlah manusia super.

Suamimu banyak kelemahannya. Istrimu memang selalu

menyebalkan. Anakmu selalu saja melawan. Pacar tiap waktu

menjengkelkan. Pendetamu juga mengecewakan. Mereka semua

tidak akan memberikan kebahagiaan dan kesenangan kepadamu,

karena mereka tidak sempurna, dan mereka sendiri pun sedang

mengejar kebahagiaan dan kesenangan itu. Mereka bukan sumber

kebahagiaan. Bodoh dan rugi jika menaruh harapan kebahagiaan

kepada manusia.

Doa yang belum Tuhan kabulkan pun tak semestinya membuat

kecewa. Sebab, itu hanya masalah waktu saja. Asalkan cara hidup

ini sudah sesuai dengan firman-Nya dan Tuhan melihat apa yang

diminta memang layak diberikan, maka belajarlah untuk bersabar.

Kata orang, orang sabar disayang Tuhan!

Kebahagiaan kita hanya ada dalam Tuhan saja. Kita akan

berbahagia ketika hidup menjalankan apa yang Tuhan kehendaki.

Kita akan berbahagia jika melakukan firman-Nya. Kita akan

berbahagia bila tahu bahwa di dalam hidup ini, bukan cuma kita

yang hidup, tetapi Kristus yang hidup di dalam kita. “… Namun

aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus

yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam

daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi

aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal. 2:20).

Untuk apa kecewa?






03 Februari 2010

Sekolah Keheningan




Nats: Markus 1:45

Tetapi orang itu pergi memberitakan peristiwa itu dan menyebarkannya kemanamana,
sehingga Yesus tidak dapat lagi terang-terangan masuk ke dalam kota. Ia
tinggal di luar di tempat-tempat yang sepi; namun orang terus juga datang kepada-
Nya dari segala penjuru.

DI masa Yesus hidup, populasi manusia, khususnya di Palestina
dan sekitarnya, tidak sebanyak sekarang. Moda transportasi darat
hanyalah kuda dan unta. Transportasi air cuma kapal laut (dari kayu).
Jalanan umumnya berbatu. Jika bukan sesuatu peristiwa khusus,
tidak ada orang berkumpul dan berbicara riuh rendah. Tidak ada
deru kendaraan bermotor yang memekakkan telinga, karena
menggunakan knalpot racing. Tidak ada pula rumah atau pusat
keramaian yang memiliki pemutar audio-video yang menyetel lagu
sekencang-kencangnya – belum ada listrik – tidak ada pemadaman
listrik tanpa pemberitahuan seperti sekarang yang sungguh
menjengkelkan. Tidak ada grup band yang performe musik dan vocal
sekeras-kerasnya di pusat kota. Tidak ada issue besar dan
mengejutkan seperti sekarang yang membuat kontra sekelompok
orang sehingga berdemo, dan berteriak-teriak histeris. Di jaman
Yesus hidup, tidak banyak kegaduhan. Jarang kehebohan. Sedikit
riuh rendah suara. Minus ingar-bingar. Suasana hidup banyak diliputi
sepi.

Nats di atas tidak mencantumkan persisnya Yesus berada, tetapi
Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), dalam ayat yang sama
berbunyi: Tetapi orang itu pergi, dan terus-menerus menceritakan kejadian
itu di mana-mana sampai Yesus tidak dapat masuk kota dengan terangterangan.
Ia hanya tinggal
di luar kota di tempat-tempat sunyi.
Namun orang terus saja datang kepada-Nya dari mana-mana. Setelah
menyembuhkan orang yang sakit kusta, Yesus pergi ke luar kota.
Bukan sekadar di luar kota, tetapi lebih ke hulu (udik), di tempat
yang sunyi. Bayangkan, suasana dulu itu sudah sepi, Yesus masih
mencari tempat yang lebih sepi lagi. Apa yang Yesus cari?
Di tempat sepi Yesus berdoa. No sound, no voice. Just pray. Silent
only
. Yesus berkomunikasi dengan Allah. Mungkin tanpa suara.
Hanya lewat hati. Yesus meminta kekuatan dan petunjuk. Yesus
belajar dalam sepi; dalam keheningan. Sekolah Yesus adalah sekolah
keheningan. Dalam kaitan ini, menurut saya, hobi Yesus itu cuma
dua: Gemar berdoa dan menyukai tempat yang sepi.
Jauh sebelum ditemukan pola dan cara meditasi dengan segala
bentuknya, Yesus telah mempraktikkan cara hidup “belajar dalam
keheningan”. Tidak demikian dengan manusia di jaman ini. Hidup
serba ramai. Gaduh. Bising. Hiruk-pikuk. Sudah begitu, tambah
diperparah dengan lilitan kesibukan rutin. Pergi pagi, pulang malam.
Berangkat kerja masih bertemu bulan dan bintang, pulang kerja
bulan dan bintang masih menyapa – badan lelah. Loyo. Letoy. Tidur
tergesa-gesa dan terpaksa, karena wajib bangun sebelum pukul lima.
Mana sempat lagi berdoa; saat teduh tidak ada; keheningan tiada;
semenit pun Tuhan tidak diberi waktu bicara.
Weker berbunyi berisik. Terpaksa bangun sebelum pukul lima.
Persiapkan ini-itu. Setengah berlari mengejar transportasi. Rutinitas
berulang lagi. Sadar atau tidak sadar, semua itu bisa melilit sampai
mati. Padahal, Bapa yang pengasih, menunggu lama sekali untuk
kita kembali. Kembali berbicara lagi sendiri bersama-Nya.
Mendengar Dia memberi titah. Sehingga damai di hati dan bahagia
diraih, meski tidak punya banyak harta materi.
Mari berhenti sejenak. Mencari tempat yang sunyi. Tidak harus
retreat di Vila Sunyi, di puncak, Bogor. Cukup di sini. Di rumah
sendiri. Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah
pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka
Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu (Mat.
6:6)
. Mari kita belajar memberi persembahan waktu. Sekian menit
saja cukup untuk permulaan. Nanti tingkatkan semampu mungkin
– pertahankan dan langgengkan. Itulah sekolah keheningan. Tuhan
akan mengajar kita banyak hal dalam sekolah keheningan ini.
Bahkan, … “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah
didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia:
semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” (I Kor.
2:9).
Dalam keheningan, kita akan menyadari, betapa kecilnya kita
di semesta raya ini – di hadapan Sang Khalik – Pencipta yang kita
panggil: Ya Abba, ya Bapa – yang daripada-Nyalah kita berharap
dan bergantung penuh. Tanpa Dia, kita bukan apa-apa.
Yesus tidak aji mumpung. Mumpung berhasil menyembuhkan
si kusta, maka masuk kota, dan menerima penghormatan manusia.
Yesus justru menyepi. Kebanyakan kita tidak begitu. Mumpung
sedang terkenal. Maka, tampil dalam kerumunan dan menerima
puja-puji. Umpamanya, sebagai hamba Tuhan top, diundang
melayani di mana-mana – dengan judul khotbah: from zero to hero
khotbah cuma berisi testimoni pribadi – bertutur nostalgi: dulu
melayani jalan kaki, naik roda dua kini; dulu masuk kampung keluar
kampung, sekarang melayani di gedung-gedung. Cenderung
sombong. Karena populer, akhirnya keblinger (sesat; keliru).
Harus diakui, kebanyakan orang akan luluh prinsip dan
idealismenya manakala harta, tahta dan popularitas datang
menggoda; tak terkecuali orang-orang yang siang-malam ada di
gereja. Kecuali, yang hidup berpegang kuat dalam kebenaran Tuhan,
dan yang tiada kompromi dengan dosa sekecil apapun. Sebuah situs
Kristen di internet menyimpulkan dalam salah satu artikelnya,
bahwa menjelang Tuhan Yesus datang kedua kali untuk menjemput
orang yang percaya kepada-Nya, akan ada jutaan orang percaya
yang akhirnya berbalik dari imannya. Dengan banyak sebab dan
alasan, mereka akan meninggalkan iman percaya kepada Tuhan,
bahkan menghujat-Nya. Banyak alasan alkitabiah dan fakta konkrit
yang dikemukakan dalam artikel tersebut. Terlepas valid dan benar tidaknya
pernyataan dari artikel itu, firman Tuhan jauh hari telah
berkata: “Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada
kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya” (Mat. 7:14)
. Mendalami
ayat ini lebih jauh, mestinya membuat mata hati kita terbelalak
dan sadar sesadar-sadarnya, bahwa status Kristen, predikat rohani
dan prestasi apapun yang kita perbuat atas nama Tuhan, bukan
jaminan pasti masuk sorga, karena keselamatan itu harus dikerjakan
dengan serius dan sungguh-sungguh, dalam keadaan apapun – di
manapun – kapanpun. Rasul Paulus menulis: Hai saudara-saudaraku
yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan
keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku
masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, (Flp.2:12)
.
Sekolah keheningan Yesus tidak berjalan sekali dua kali. Yesus
konsisten akan hal itu. Di samping mencontohkan dan mengajak
para murid: Lalu Ia berkata kepada mereka: “Marilah ke tempat yang
sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!” Sebab memang
begitu banyaknya orang yang datang dan yang pergi, sehingga makanpun
mereka tidak sempat (Mrk. 6:31)
– keheningan Yesus terjadi lagi di
Getsemani untuk terakhir kali. Sebenarnya Dia bersama para murid,
tetapi seolah seorang diri. Tiga kali berdoa, tiga kali pula Dia
mendapati mereka sedang tidur. Yesus hening berdoa. Berdoa dalam
keheningan. Murid-murid justru tidur dalam keheningan. Hening
yang menidurkan. Inilah kita. Susah sekali menyempatkan waktu
hening. Tetapi jika sempat hening malah ketiduran. Amin-nya begitu
bangun pagi.
Sekolah keheningan bersama Yesus akan membuat kita punya
waktu belajar mendengarkan suara Tuhan yang lembut sekaligus
menegur. Lembut mengasihi kita dan menegur (mengingatkan) kita
akan kesalahan yang diperbuat hari ini. Sehingga, besok hari Dia
tersenyum penuh kasih, mendapati kita menjadi pribadi yang lebih
baik dari hari kemarin. Sampai akhirnya, Dia berkata kelak (oh ini
perkataan yang paling indah): … Mari, hai kamu yang diberkati oleh
Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia
dijadikan (Mat. 25:34)
.