Nats : Kej 2:18-23
Dalam Kej. 2 kita akan melihat bahwa ketika suatu keluarga dijadikan oleh Tuhan, Ia menginginkan adanya tiga sifat utama ada di dalam suatu keluarga yang baik: Pertama, Sifat baik/ bajik. Allah tidak pernah menginginkan keluarga dibentuk untuk menjadi satu bagian yang susah, sengsara, menderita, hancur, dsb. Namun kita akan pesimis kalau melihat hubungan orang tua-anak, relasi suami-istri, kehidupan seksual, moralitas dan trend masyarakat di dalam format keluarga hari ini. Kalimat pertama dalam Kej. 2:18 jelas mengatakan bahwa ketika Allah menciptakan manusia, dan ketika itu hanya terdapat satu (pria) saja, maka Ia berfirman, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Berarti Allah tidak menginginkan yang tidak baik! Keluarga dicipta untuk menjadi keluarga yang baik, tetapi di dalam kenyataannya jauh daripada apa yang Allah inginkan.
Kedua, Sifat tanggungjawab. Ketika Allah melihat manusia itu belum terbentuk menjadi satu keluarga yang baik (sebelum Allah menciptakan Hawa bagi Adam), maka Ia melakukan serangkaian penciptaan, yaitu dibentuk-Nyalah dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara (binatang dicipta dengan cara yang sama seperti manusia, hanya tidak diberikan nafas hidup). Namun di dalam struktur menggumulkan keluarga bagian ini seringkali dilewatkan. Banyak agama lain maupun agama sesat jaman ini (hypercalvinistic) yang menganggap bahwa manusia berkeluarga secara predestinasi, sehingga mereka menganggap Allah yang salah ketika ia salah menetapkan pilihannya. Suatu keluarga bukan dicipta menjadi keluarga robotik melainkan harus ada pemilihan, berproses dan berjuang sehingga akhirnya ia harus mempertanggung-jawabkan pilihannya. Sehingga ketika seseorang ingin membangun keluarga maka ia harus berani membangun tanggungjawabnya secara tepat, dengan demikian keluarga itu dapat diproses seperti yang Tuhan inginkan.
Ketiga, Sifat kekudusan. Allah bukan sekedar menginginkan manusia berkeluarga secara baik dan bertanggungjawab melainkan juga harus secara kudus. Alkitab mengatakan, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.” Hidup di dalam kekudusan yang sejati mempunyai dua aspek: kekhususan (spesifik, satu pria-satu wanita) dan kesucian secara keseluruhan (tidak ada cemar/dosa). Sehingga ketika kekudusan itu dilanggar maka manusia telah mencemarkan nama Allah yang kudus dan mengalami disharmonis karena keluarga merupakan miniatur Allah Tritunggal. Ketika salah satu hal diatas dilanggar maka keluarga akan mengalami kerugian karena tidak lagi mencapai apa yang seharusnya didapatkan secara maksimal dalam Tuhan Allah.
Kita akan mulai membahas tujuan keluarga mulai dari hal yang pertama, yaitu tujuan menjadi baik. Satu kontras yang sedang terjadi saat ini dimana banyak orang yang membuka kesaksian realita yang akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa hidup berkeluarga itu akan menyuitkan, banyak masalah dan penderitaan sehingga itu tidak baik. Demikian juga di dalam Kekristenan, ketika menikah maka kita dianggap lebih bersifat duniawi/ kedagingan, tidak memperhatikan kerohanian kita dan tidak suci. Maka timbul bias seolah pernikahan itu adalah suatu lembaga yang tidak baik dan tidak bersifat rohani. Namun Alkitab dari awal menegaskan bahwa ketika Adam seorang diri maka saat itu dikatakan tidak baik karena sebagian natur yang menyempurnakan manusia masih belum ada (Haish & Haishshah). Maka ketika pria atau wanita saja berarti ia baru mempunyai separoh natur keutuhan semua kesempurnaan kemanusiaan karena ada unsur-unsur manusia yang tidak dimiliki oleh pria dan demikian pula sebaliknya, dan masing-masing memiliki kelebihan serta kekurangan yang ketika keduanya disatukan baru mencapai kesempurnaan. Itulah integrity of human being!
0 komentar:
Posting Komentar