-->

Profil Hamba Tuhan

Foto saya
Jakarta, Indonesia
Seorang Hamba Tuhan yang memiliki kerinduan untuk dapat memberkati banyak orang melalui Pastoral Konseling, dengan berbagai hal dan cara, salah satunya adalah melalui fasilitas dunia maya (Internet). Riwayat Pendidikan Teologi: - Sarjana Theology (S. Th) jurusan teologi, 1999. - Master of Art (M. A) jurusan Christian Ministry, 2002. - Master of theology (M. Th)Thn 2010. - Doctor of Ministry (D. Min)Thn 2009. God Bless You All.

Pendahuluan

Shallom, selamat datang di blog saya Pdt. Denny Harseno, M. A., D. Min. Saudara, saya senang sekali jika dapat memberkati saudara sekalian melalui setiap tulisan-tulisan dan artikel-artikel yang ada pada blog ini. Jika saudara ingin membaca setiap tulisan-tulisan dan artikel-artikel terdahulu yang ada pada blog ini, saudara cukup memilih label daftar isi blog atau dengan memilih pada arsip blog yang ada di samping kiri blog ini, dan silahkan mengisi buku tamu blog saya dibawahnya, agar saya dapat mengetahui siapa saja yang telah berkunjung diblog saya. Terima kasih atas perhatiannya, Tuhan Yesus Kristus memberkati.

03 Juni 2009

Allah = Kasih...???



Apa artinya Allah adalah kasih? Pertama-tama kita perlu melihat bagaimana Firman Tuhan, Alkitab, menggambarkan ”kasih,” dan kemudian kita akan melihat beberapa cara pengajaran ini diterapkan pada Allah. ”Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap” (1 Korintus 13:4-8).

Ini adalah cara Allah menggambarkan kasih. Allah adalah seperti yang digambarkan itu, dan orang Kristen perlu menjadikan ini sebagai tujuan mereka (walaupun selalu dalam proses). Ekspresi yang paling utama dari kasih Allah dikomunikasikan kepada kita dalam Yohanes 3:16 dan Roma 5:8. ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16). “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8). Dari ayat-ayat ini kita bisa melihat bahwa Allah sangat menginginkan kita bersama-sama dengan Dia dalam rumahNya yang kekal, Surga. Dia telah membuka jalan dengan membayar harga dosa-dosa kita. Dia mengasihi kita karena Dia memilih untuk melalukan hal itu. ”Hati-Ku berbalik dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku bangkit serentak” (Hosea 11:8). Kasih mengampuni. “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 Yohanes 1:9).

Kasih (Allah) tidak memaksakan diri pada orang lain. Orang-orang yang datang kepadaNya, datang kepadaNya sebagai respons terhadap kasihNya. Kasih (Allah) menyatakan kemurahan pada semua orang. Kasih (Yesus) berbuat baik kepada semua orang tanpa memandang bulu. Kasih (Yesus) tidak cemburu pada apa yang orang lain miliki, hidup sederhana tanpa mengeluh. Kasih (Yesus) tidak membesar-besarkan diri sekalipun Dia dapat mengalahkan semua orang lain. Kasih (Allah) tidak menuntut ketaatan. Allah tidak menuntut ketaatan dari sang Anak, namun sang Anak secara sukarela menaati BapaNya di surga. ”Dunia tahu, bahwa Aku mengasihi Bapa dan bahwa Aku melakukan segala sesuatu seperti yang diperintahkan Bapa kepada-Ku” (Yohanes 14:31). Kasih (Yesus) selalu memperhatikan kepentingan orang lain.

Gambaran singkat mengenai kasih ini mengungkapkan hidup yang tidak mementingkan diri sendiri, sesuatu yang bertentangan dengan hidup mementingkan sendiri dari dunia ini. Yang luar biasa, Tuhan telah memberikan kepada mereka yang menerima AnakNya, Yesus, sebagai Juruselamat mereka dari dosa, kemampuan untuk mengasihi sebagaimana Dia mengasihi. Dia memberikan ini melalui kuasa Roh Kudus (lihat Yohanes 1:12; 1 Yohanes 3:1, 23, 24). Suatu tantangan dan hak istimewa yang luarbiasa!

Amanat Agung




Nats: Mat 28: 16- 20

Pada saat kita merayakan hari kenaikan Tuhan Yesus ke Sorga, pasti kita tidak pernah lupa akan Amanat yang Tuhan berikan kepada setiap orang yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan semesta alam. Karena Yesus mengatakan: “Kepada- Ku telah diberikan segala kuasa di Sorga dan di Bumi...” kepada beberapa orang yang ragu- ragu menyembah- Nya.

Amanat dalam arti lainnya adalah perintah dan oleh karena yang memberi perintah itu adalah Tuhan, jadi sangatlah tepat kalau perintah itu adalah Agung (sesuatu yang besar dan mulia). Saya percaya di setiap dada orang Kristen ada kebanggaan yang telah terpatri kuat dalam setiap sikap, kelakuan, ucapan, dan perbuatan hidupnya. Adalah sebagai suratan Injil Kristus yang terbuka, sehingga tercermin sebagai saksi Kristus yang hidup dan setia untuk orang lain yang hidup di sekitarnya, dalam rangka menjalankan Amanat tersebut. Adapun Amanat Agung yang selengkapnya sebagai berikut:

Pertama: “...Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid- Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus...” Kalimat pergilah mengartikan sesuatu yang aktif, bergerak dan sesuatu yang dinamis, tidak boleh pasif atau yang kecenderungannya berjalan ditempat dan bermalas- malasan. Seringkali banyak umat Tuhan pada saat sudah diberkati lupa akan peranannya tersebut sehingga sudah merasa nyaman di zona itu dan tidak lagi merasa perlu untuk keluar (Eklesia) memberitakan Injil dalam ketaatan kepada Amanat Agung tersebut, sehingga sampai matinya tidak satupun jiwa dibawa kepada Tuhan. Payah dech!?
Demikian juga pada saat mendapat masalah, hal yang sama seperti diatas juga dilakukan seperti itu, hidupnya hanya berputar- putar dengan masalah tersebut. Tidak lagi mementingkan Amanat Tuhan tersebut akan tetapi lebih mementingkan dirinya sendiri dan masalahnya saja dan akhirnya malah mati dengan masalahnya. Padahal fiman Tuhan mengatakan: Tetapi carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu...(Mat 6: 33).

Memuridkan setiap orang untuk menjadi murid Tuhan, sesungguhnya adalah pekerjaan yang mulia. Mengingat siapa kita ini sebelumnya yang adalah orang berdosa, orang yang cemar dan orang yang jahat. Yang pada akhirnya dipercayakan oleh Tuhan Yesus untuk menjadi kawan sekerja- Nya, alangkah bangganya kita kawan!? Jangan ditolak yach?!

Kedua: ...dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Kalau kita merenungkan Firman ini mungkin kita bingung, perintah yang mana yang akan kita ajarkan kepada orang lain itu, sebab perintah Tuhan yesus itu kan banyak sekali. Akan tetapi sebenarnya kalau kita cermati membaca Firman ini kita tidak bingung koq. Bagaimana caranya? Perhatikan kalimatnya: Ajarlah mereka melakukan. Untuk mengajarkan orang lain melakukan perintah Tuhan itu, caranya adalah kitalah yang terlebih dahulu memberikan contoh; melakukannya dan mempraktekannya Firman itu, dalam kehidupan kita sehari- hari, sehingga aktifitas kita terlihat dengan jelas oleh orang- orang yang disekitar kita tersebut.Yang pada akhirnya orang- orang tersebut memahami benar ajaran- ajaran Yesus itu dan sampai tergugah perasaannya sehingga timbul ketertarikannya dan otomatis mengikuti- Nya dengan penuh kesadaran. Dengan kata lain bukan hanya teori saja kita mengajar mereka, akan tetapi yang utama adalah prakteknya, mbock. Hidupku bukan aku lagi tapi Yesus didalamku.

Ketiga: “...dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,... Pertanyaannya disini mengapa mereka perlu dibaptis? Bukankah pada saat mereka telah melakukan segala perbuatan kebenaran yang sesuai diperintahkan Tuhan, itu sudah cukup? - Belum saudaraku! -Sesungguhnya mereka dan juga kita harus menerima pengesahan dalam bentuk baptisan, sebagai bukti bahwa kita mati bersama Yesus Kristus dan bangkit juga bersama Yesus Kristus sebagai materai yang dari Sorga tersebut. Mengapa demikian? Bukankah kita masih ingat, bahwa keselamatan itu adalah merupakan sebuah Anugerah yang dari Tuhan Yesus. Bukan dari upaya manusia, ya kan? Jadi apabila nama kita ingin tercatat dalam kerajaan sorga; harus dimateraikan, nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus dan dalam nama Tuhan Yesuslah sebagai jaminan kita untuk memperoleh hidup yang kekal di Sorga.

Keempat:... Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman.” Disini Tuhan memberikan jaminan kepada umat kepunyaan- Nya, untuk tidak takut dan tidak ragu dalam menjalankan amanat- Nya tersebut. Kita mempunyai Tuhan yang bertanggung- jawab atas setiap perintah- Nya dan kita tidak pernah ditinggalkan sendirian sebagai yatim piatu. Perlindungan -Nya sempurna, penyertaan- Nya setia, Tuhan kita adalah Tuhan yang kekal untuk selama- lamanya. Namanya Tuhan Yesus Kristus, nama diatas segala nama, penasehat ajaib, Allah yang perkasa. Aleluyah amien.


KEPERCAYAAN YANG SEJATI


Nats : I Petrus 1:2-8


Jika kita perhatikan, pada ayat 6 terdapat kalimat yang bersifat paradox (yang kelihatannya bertentangan) dimana dikatakan, "Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan." Itu tidak mudah! Kita dapat bersukacita pada saat jalan hidup kita lancar dan segala sesuatu beres tetapi disini justru dikatakan bergembiralah walaupun di dalam waktu yang seketika kamu mengalami satu dukacita. Dari ayat ini kita akan melihat dua hal yaitu: 1). Aspek Pencobaan. Dan 2) Manfaat dari pencobaan.


Ketika di ayat itu dikatakan "Bergembiralah akan hal itu", maksudnya adalah hal-hal yang di atasnya, yaitu berkenaan dengan keselamatan. Bergembira karena jemaat sudah memiliki keselamatan yang begitu indah yang dimulai sejak kekekalan dan yang dinyatakan dalam proses waktu (ayat 2). Kita harus membedakan dua dimensi sebab dimensi kekekalan tidak berada di dalam proses. Bagi Allah tidak ada past, present ataupun future tetapi selalu everpresent, selalu sekarang sedangkan di dalam proses ruang dan waktu kita mengenal adanya masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Rencana Allah yang sudah memilih kita di dalam Kristus, dikerjakan oleh Roh Kudus dinyatakan di dalam ruang dan waktu. Di dalam ruang dan waktu dikatakan bagaimana Roh Kudus bekerja, memimpin kita, melahirbarukan sehingga kita dapat percaya kepada kematian dan kebangkitan Kristus (ayat 4). Pada waktu saya percaya kepada Kristus, maka pada waktu itu darah Kristus yang menyucikan dosa saya dan kebangkitan Kristus yang sudah membenarkan saya, maka sekarang saya sudah diberikan hidup yang baru yaitu pengharapan pada masa yang akan datang walaupun baru nanti hal itu akan digenapkan.


Pada saat kita pertama percaya hingga menuju kekekalan, di sini terdapat satu proses yaitu sudah diselamatkan, sedang diselamatkan, dan akan menuju penggenapan keselamatan di kelak kemudian hari. Di dalam proses ini Alkitab mengatakan bahwa harus ada pencobaan. Jadi, pencobaan merupakan satu keharusan, kebutuhan vital kita untuk dibentuk menjadi sesuai dengan rencana Allah. Seperti yang dikatakan dalam I Petrus 1:6, "…, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita …" Di sini dikatakan "harus" dan bukannya "supaya" atau "mudah-mudahan". Mengapa harus? Beberapa penafsir mengatakan, "Karena tanpa adanya pencobaan, jangan harap kita dapat menjadi orang Kristen yang dewasa, yang diproses dan dibentuk oleh Tuhan." Di dalam kitab Yakobus dikatakan, "Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan" (Yak 1:2). Kalau kita masuk ke dalam pencobaan, maka itu memang rencana Tuhan untuk memproses kita. Waktu diproses memang sakit dan berdukacita, tetapi justru disitulah kita diproses oleh Tuhan. Semua itu tetap berada di dalam limitasi kontrol dari yang membuat. Itu sebabnya dikatakan bahwa pencobaan itu hanyalah seketika. Pencobaan akan menghasilkan dukacita tetapi itu hanya seketika, dan tidak selamanya.

Sekarang kita akan masuk ke dalam point yang kedua, manfaat pencobaan. Apakah manfaat dari pencobaan bagi hidup kita? Manfaat pencobaan ditulis di dalam ayat 7: "Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu." Jadi Pertama, ujian dapat membuktikan apakah kita orang Kristen sejati ataukah palsu. Seperti emas, ketika dimasukkan ke dalam perapian, akan dapat diketahui yang mana emas dan yang mana yang bukan emas karena yang bukan emas akan hancur, tersingkirkan dan dibuang, sedangkan emas terus diproses untuk lebih menunjukkan bahwa ia adalah emas. Jadi, tujuan pencobaan bukan untuk menciptakan iman, tetapi justru untuk menyatakan iman. Kalau saudara diproses maka itulah saatnya saudara menunjukkan bahwa iman saudara itu asli atau palsu. Ujian dapat melalui banyak hal. Pada jaman Petrus, mungkin ujian itu bisa berupa serangan dari dunia kafir yang benci kepada Kekristenan, sehingga orang Kristen ditekan, dianiaya, dan bahkan ada yang dibunuh. Itu adalah suatu pencobaan. Tidak mudah menjadi Kristen di jaman itu, itu merupakan suatu waktu di mana Kekristenan ditekan dari dunia luar. Ini adalah tujuan yang pertama. Tujuan pencobaan adalah untuk membuktikan bahwa kita ini asli, milik Allah, atau kita palsu yang kelihatannya milik Allah, tetapi sebenarnya kita hanyalah benalu yang menempel di dalam Gereja, yang suatu kali akan Tuhan tebas dan bakar.

Kedua, pencobaan berguna untuk memurnikan iman kita. Di ayat 7 dikatakan bahwa maksud pencobaan adalah untuk membuktikan kemurnian iman kita. Saat emas dibakar di dalam perapian, akan dapat diketahui mana yang emas dan mana yang bukan biji emas. Seringkali kita mengalami banyak gesekan, tetapi justru gesekan-gesekan itu dapat membersihkan. Saat emas diuji, maka disitu akan terjadi pemurnian demi pemurnian. Mungkin secara luar kita sudah kelihatan baik, orang melihat bahwa kita ini rohani, tetapi siapa yang tahu keliaran hati kita, pikiran kita dan hawa nafsu kita. Mungkin orang tua, suami atau isteri dan orang terdekat kita tidak tahu tetapi yang tahu hanya tiga yaitu setan, hati nurani kita dan Tuhan. Hal itulah yang membuat orang Kristen bukan orang yang di awan-awan.

Ada dua hal yang saya takut ada di dalam Gereja. Yang pertama senang melayani kalau hidupnya lancar, kaya, sehat dan diberkati. Sedangkan yang kedua senang mendengar khotbah yang hebat, akan tetapi setelah mendengarkan selama bertahun-tahun ia tidak dapat merealisasikannya. Kedua hal ini dapat menimbulkan kerawanan jika suatu kali terjadi krisis. Maka mereka yang berada di Gereja pertama hanya mempunyai dua kemungkinan, goncang atau ia tetap membius diri di dalam kebimbangan dia. Sementara itu, orang yang ada di Gereja kedua mungkin menjadi hopeless mencapai titik jenuh karena apa yang ia dengarkan selama bertahun-tahun ternyata tidak dapat diaplikasikan. Disini juga hanya ada dua kemungkinan: 1) Dia menolak untuk belajar teori yang tinggi dan hanya ingin yang praktis; 2) Dia mungkin masih mau mendengarkan khotbah yang tinggi tetapi hanya menjadi pendengar dan tidak pernah mau untuk bergumul. Iman Kristen adalah iman yang normal, yang harus didasarkan pada ajaran yang kuat namun demikian tidak dapat dilepaskan dari praktika hidup. Kita harus siap dimurnikan sampai Tuhan memanggil kita, itulah titik akhir dari proses itu. Setiap orang berbeda sehingga kita jangan menghakimi orang lain tetapi mari kita menilai diri kita sendiri karena kita hanya dapat melihat yang nampak dan tidak dapat melihat hati manusia.


Ketiga, pencobaan bertujuan agar kita lebih memahami firman. Martin Luther pernah berkata: "Justru di dalam kesengsaraanku aku memahami firman Tuhan." Ia adalah seorang yang lembut dan mau hidup suci tetapi tidak mampu. Baru di saat ia dicerahkan, ia tahu bahwa orang dibenarkan bukan oleh perbuatan tetapi oleh iman dan disitu ia semakin memahami firman. Terkadang kita dapat belajar firman dan tahu ayat-ayat dalam Alkitab tetapi ayat tersebut tidak pernah menyentuh hati yang paling dalam, kecuali saat kita berada di dalam satu proses pencobaan dimana firman menjadi bagian yang kuat dari kehidupan kita. Daud berkata: "Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu" (Mzm 119:71).
Keempat, pencobaan membuat kita lebih dekat kepada Tuhan. Waktu hidup kita lancar dan sukses, seringkali kita malas berdoa, dan baru waktu ada masalah kita dekat dengan Tuhan. Oleh sebab itu Tuhan pernah berkata bahwa susah bagi orang kaya untuk masuk ke dalam kerajaan sorga. Yang menjadi masalah di sini bukanlah orang kayanya, karena di Alkitab juga ada orang kaya yang penuh iman seperti Abraham tetapi seringkali kekayaan ini menjauhkan hubungan seseorang dengan Tuhan. Mengapa gereja-gereja di dunia barat yang makmur dan enak, justru kerohaniannya tidak pernah maju dibandingkan dengan negara-negara yang penuh dengan tindasan dan tekanan? Karena melalui banyak kesulitan mereka dapat semakin bergantung dan lebih dekat kepada Tuhan. Saat Gereja merasa makmur dan lancar, kita jarang menyediakan waktu untuk berdoa dan bergumul. Padahal doa merupakan salah satu aspek yang sangat esensial di dalam keberadaan kita sebagai orang Kristen dan Tuhan Yesus sangat memprioritas hal ini. Bagaimana orang itu di belakang tembok yang tertutup, dengan lututnya bertekuk dihadapan Tuhan, berdoa di dalam kesendirian maka disitulah kualitas kerohaniannya dinyatakan.

Kelima. Pencobaan membuat kita menjadi berkat. Di Timur ada pandangan bahwa saat emas dibakar di dalam perapian maka biji emas ini kemudian melebur sampai suatu kali bercahaya di dalam perapian sehingga wajah dari pandai emas ini terpantul melalui emas ini. Dengan kata lain, emas ini menjadi cahaya yang memancar dan mungkin ini yang dimaksudkan oleh Petrus. Waktu kita dicobai dan diproses, disitu justru hidup kita lebih bercahaya. Lagu "Salib-Nya-Salib-Nya" ditulis oleh seorang yang bernama Fanny Crosby, yang buta sejak berusia sepuluh tahun akibat kesalahan seorang dokter. Dia tidak membenci dokter tersebut tetapi justru ia bersukacita karena meskipun matanya buta, hatinya lebih terang daripada orang lain yang mempunyai mata dan ia dapat mengarang kira-kira 6000-8000 lagu rohani. Terkadang pencobaan yang kita alami dapat membentuk kita menjadi emas yang bercahaya, membuat kita menjadi orang Kristen yang tidak mundur walaupun berada di tengah-tengah tekanan. Ayub merupakan teladan yang amat indah yang jarang dialami oleh banyak orang dan hingga sekarang banyak orang yang dikuatkan. Tuhan memproses hidupnya selangkah demi selangkah hingga akhirnya ia memahami dan menulis satu ayat yang menguatkan saya: "Karena Ia tahu jalan hidupku: seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas." (Ayb 23:10). Biarlah ketika Tuhan mengijinkan pencobaan menimpa kita, biarlah kita tahu bahwa itu merupakan suatu keharusan bagi kita. Pada waktu kita diproses dan kita semakin bercahaya, maka saat kita kembali kepada Bapa, Tuhan akan berkata: "Engkau anak-Ku yang baik, engkau sudah melakukan tugasmu." Ada satu pujian dari Tuhan yang mengasihi kita dan itu adalah suatu keindahan karena kita dicipta sama seperti matahari yang menyinari bulan untuk memantulkan kembali kemuliaan itu di dalam dunia yang sudah gagal dan jatuh ke dalam dosa.
Kita telah mengerti bagaimana iman yang benar harus mengalami pencobaan. Manfaat dari pencobaan adalah: 1. Untuk menyatakan iman sejati. 2. Agar kerohanian kita mengalami pemurnian. 3. Agar semakin memahami kebenaran firman Tuhan. 4. Supaya kita lebih lebih berserah, bersandar dan berharap kepada Tuhan. 5. Supaya kita memancarkan cahaya kemuliaan Kristus dan boleh menjadi berkat. Kini kita akan meneliti apa iman yang sejati itu. Iman adalah harta yang Tuhan berikan di dalam diri manusia sehingga manusia berbeda dengan ciptaan yang lain. Iman adalah potensi yang diberikan sehingga manusia dapat terarah ke dalam empat relasi. 1. Di dalam relasi dengan alam materi. 2. Di dalam relasi dengan sesama. 3. Di dalam relasi dengan diri. 4. Di dalam relasi dengan Sang pencipta. Relasi terakhir ini sangat penting sekalli karena inilah yang akan mengatur seluruh relasi yang lain. Saat ini banyak orang menyatakan janji-janji dengan memakai nama iman, mulai dari hal yang paling sederhana sampai hal yang paling muluk. Apakah ini iman sejati? Dengan tegas saya mengatakan bahwa ini bukanlah iman yang sejati! Paul Tillich pernah mengatakan: “Sebelum kata iman ini digunakan untuk menyembuhkan orang lain maka kata iman ini harus disembuhkan dahulu”. Itu sebabnya, ketika kita membahas ini melalui I Petrus maka ada 3 point yang akan kita teliti: 1. Pengertian iman 2. Obyek iman 3. Rahasia Iman.

Pertama, Pengertian iman. Iman dalam bahasa Yunani dapat diterjemahkan keyakinan/ percaya. Tetapi kita melihat 3 macam penggunaan: a) iman dalam arti isi iman, sehingga disini iman berkaitan dengan ajaran. Misalnya: di salah satu suratnya Paulus mengatakan, “Aku sudah memelihara iman.” Berarti ia sudah memelihara ajaran sehat yang Tuhan percayakan kepadanya. b) arti iman yang paling sering digunakan oleh Alkitab adalah sikap bersandar kepada satu pribadi yaitu Allah. Jadi, iman di sini berkenaan dengan tindakan iman. Abraham menjadi bapa kaum beriman karena ia mempunyai iman yang melangkah. Ketika Allah meminta Abraham mempersembahkan anaknya, walaupun dia tidak paham apa sebenarnya maksud Allah tetapi dia tetap mau melangkah membawa anaknya ke gunung Muria. Kesulitan orang Kristen dewasa ini adalah justru di dalam faktor ini. Kita menyebut Allah dengan sebutan Bapa dan kita tahu bahwa Bapa kita tidak mungkin merencanakan sesuatu yang jahat tetapi waktu Tuhan tantang, kita seringkali sulit untuk mau melangkah. c) iman di dalam arti kata setia. Disini iman merupakan satu keteguhan, dapat dipercaya dan diandalkan. Itu mengakibatkan seseorang mampu berelasi dengan Allah dan menjadi orang yang setia.

Kedua, Obyek Iman. Iman berasal dari kata kerja transitif yang memerlukan obyek, karena tanpa obyek ia takkan mampu berdiri. Seringkali kita beriman pada iman, tetapi itu bukan iman yang sejati. Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa kita harus beriman kepada kuasa iman tetapi harus beriman kepada obyek iman sehingga Ia yang melakukan kuasa. Kedua hal ini tidaklah sama. Seringkali di saat seorang berdoa agar sembuh tetapi tidak dikabulkan, maka kita berkata bahwa ia lemah iman. Akan tetapi Kitab Suci tidak mengajarkan seperti itu. Di dalam Alkitab, iman hanyalah alat yang di dalamnya Allah bekerja. Jadi, kita tidak seharusnya beriman kepada iman, tetapi beriman kepada Obyek iman yang sejati.

Di saat Tuhan Yesus menyembuhkan orang sakit, apakah itu bergantung kepada iman orang itu? Tidak! Misalnya: di saat Tuhan berada bersama-sama muridNya di dalam perahu. Pada saat itu Ia tidur dan tiba-tiba badai datang menerpa, murid-muridNya begitu takut dan membangunkanNya. Yesus tidak bertanya apakah murid-muridNya punya kuasa iman ataukah tidak, Ia langsung menenangkan badai itu. Baru setelah badai menjadi tenang, Tuhan menegur para murid karena tidak percaya. Siapakah di sini yang melakukan kuasa? Tuhan, bukan iman! Pada waktu Tuhan membangkitkan orang mati, bagaimana caranya orang yang mati itu dapat beriman? Yang menentukan orang itu bangkit atau tidak bukanlah terletak pada iman, tetapi pada kedaulatan Tuhan. Bahaya yang kedua adalah di saat kita beriman pada perasaan iman. Dulu di saat saya berdoa minta sesuatu, saya paksa perasaan saya terangkat naik, saya membayangkan apa yang saya inginkan, dan saya mati-matian berdoa. Bahaya yang ketiga adalah di saat kita beriman pada isi iman Reformed lebih daripada kita mencintai Tuhan. Jika iman Reformed yang kita percayai tidak membuat kita lebih dekat pada Tuhan, maka kita sedang berada di dalam keadaan yang berbahaya.

Seumpama ada seorang yang mengajak saya pergi ke Eropa. Waktu itu musim dingin dan orang itu mengajak saya berjalan di atas suatu danau yang ditutupi oleh lapisan es. Waktu saya berjalan di atas es itu, saya merasa amat takut. Saya ragu-ragu akan kekuatan es itu menahan bobot saya. Tetapi orang yang mengajak saya itu dapat dengan tenang duduk di sana dan memancing. Jadi, pada saat itu saya kurang iman, sementara ia sangat beriman kepada kekuatan lapisan es itu. Sekarang pertanyaannya: “Apakah imannya dan iman saya yang menjadi jaminan keamanan kami?” Tidak! Yang membuat kami aman bukan iman kami tetapi kekuatan es itu. Jadi, di saat kita percaya pada sesuatu yang sanggup menahan kita, maka kita akan aman karena sesuatu itu akan sanggup menjaga kita agar tidak jatuh. Meskipun iman saya pada es itu kecil, tetapi saya tidak jatuh karena kekuatan es itu memang tidak ditentukan dari iman saya.

Ketiga, Rahasia Iman. Bagaimanakah kita dapat mempunyai iman yang kuat dan sekaligus benar? Kita dapat menemukan iman seperti ini jika kita mengerti rahasia iman. Rahasia iman terjadi di saat kita dapat melihat apa yang tidak kelihatan. Kalau kita berhenti hanya pada apa yang kelihatan, maka kita tidak akan pernah dapat menemukan rahasia iman.

Di dalam salah satu penelitian science, dicetuskan tentang adanya realitas paralel. Maksudnya, di dalam dunia fisik ini sebenarnya terdapat satu dunia lain yang tidak dapat kita lihat karena keterbatasan mata kita. Oleh sebab itu kita tidak dapat berkata bahwa kita hanya percaya pada apa yang dapat kita lihat. Hal yang sama juga berlaku pada realita rohani. Jika Allah dapat dimengerti dengan pikiran kita yang terbatas, maka itu berarti Allah lebih kecil daripada pikiran kita. Alkitab mengatakan: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat” (Ibr 11:1,3), atau “Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2 Kor 4:18). Pada waktu iman kita menerobos kekekalan, maka walaupun kita melihat dunia berubah, kita masih mempunyai kekuatan. Tetapi kalau iman kita hanya tertuju pada apa yang kita lihat, misalkan uang kita, maka saat uang kita amblas, iman kita akan mulai goncang. Oleh sebab itu, rahasia iman terletak pada melihat apa yang tidak kelihatan.

Di saat Musa di Mesir, ia sebenarnya dapat hidup enak, tetapi penulis Ibrani mengatakan: “Karena iman maka Musa, setelah dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun, karena ia lebih suka menderita sengara dengan umat Allah dari pada untuk sementara menikmati kesenangan dari dosa. Ia menganggap penghinaan karena Kristus sebagai kekayaan yang lebih besar dari pada semua harta Mesir, sebab pandangannya ia arahkan kepada upah. Karena iman maka ia telah meninggalkan Mesir dengan tidak takut akan murka raja. Ia bertahan sama seperti ia melihat apa yang tidak kelihatan” (Ibr 11:24-27). Rahasia iman kita tidak ditentukan dari seberapa kita kaya, seberapa tinggi kedudukan kita, tetapi apakah iman kita terkait Sumber yang tidak berubah, yaitu Allah yang ada di kekekalan.

Dari sejak kita diselamatkan hingga mati, kita berada di tengah proses. Di dalam proses ini, jika kita terkait dengan kekekalan, maka kita akan memiliki apa yang disebut dengan TEKUN, yaitu singkatan dari:

T = Terkait dengan yang tidak kelihatan.
E = Erat bersekutu dengan Tuhan.
K = kuat menanggung beban berat.
U = Ulet menghadapi cobaan.
N = Niat untuk memuliakan Kristus.

Itulah TEKUN..! Orang yang punya pengharapan yang sejati kepada kekekalan sadar bahwa dunia ini hanya sementara dan kekekalan adalah harta yang paling indah. Maka di saat ia kehilangan apapun ketika berada di dalam dunia, ia tetap mempunyai kekuatan di dalam menghadapinya.





Hukum Yang Terutama : Implementasinya Dalam Kehidupan Sehari- hari



Nats: Mark 12: 29- 31

Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.”

Luar biasa kalimat firman Tuhan tersebut di atas, yang mempunyai arti sangat dalam dan sangat luas. Hal ini tidak bisa dibantah oleh siapapun dan sampai kapanpun. Hukum tersebut mengartikan, bahwa Tuhan menginginkan bagi setiap manusia yang ingin untuk mengenal- Nya dan mengasihi- Nya bukan dengan secara membabi-buta, bukan dengan asal- asalan dan bukan dengan serampangan. Akan tetapi ia harus dengan serius menyerahkan seluruh apa yang dipunyai oleh manusia tersebut, termasuk dengan segala eksitensinya dan tidak boleh sekecil apapun berkompromi untuk diberikan kepada yang lain apalagi kepada dosa. Apabila kita melakukan untuk berkompromi dengan hal yang berdosa, maka hal itu bisa mengurangi makna atau mereduksi dari kedua hukum tersebut, sebab kedua hukum tersebut adalah sempurna yang mewakili dari semua hukum yang ada di Kitab Suci yang kita punyai yang berisikan firman Tuhan( Alkitab). Makanya hal itu disebut hukum yang terutama yang dalam pelaksanaannya tidak bisa setengah- setengah. Seperti juga yang dikatakan firman Tuhan dalam perikop yang lain: Engkau tidak bisa mengabdi kepada dua Tuan...

Implementasi atau pelaksanaannya kedua hukum tersebut dalam kehidupan kita sehari- hari bisa dijelaskan sebagai berikut:

Pertama: Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu; Artinya: Tidak boleh pada hati kita sedikitpun untuk terpikat kepada hal yang lain, apalagi untuk berniat berbuat dosa dan berbuat najis. Kita tentu masih ingat mengenai kisah Adam dan Hawa yang telah jatuh ke dalam dosa akibat memakan buah dari pohon yang Tuhan larang untuk buahnya itu dimakan oleh mereka. Mengapa sampai mereka memakannya? Karena hati mereka telah tertarik kepada buah pohon tersebut yang memberi pengertian, oleh karena bujukan dari Iblis. Hati mereka tidak lagi sepenuhnya taat dengan perkataan firman Tuhan, tetapi lebih cenderung menuruti perkataan Iblis (Kej 3 ).

Kisah yang lain pada Alkitab yang ada hubungannya dengan hati adalah kisah yang cukup terkenal ialah: Kisah Ananias dan istrinya Safira yang telah berbohong kepada Rasul Petrus atas hasil penjualan tanahnya. Sehingga Rasul Petrus berkata: “Ananias, mengapa hatimu dikuasai Iblis, sehingga engkau mendustai Roh Kudus dan menahan hasil penjualan tanah itu? Selama tanah itu tidak dijual, bukankah itu tetap kepunyaanmu, dan setelah dijual, bukankah hasilnya itu tetap dalam kuasamu? Mengapa engkau merencanakan perbuatan itu dalam hatimu? Engkau bukan mendustai manusia, tetapi mendustai Allah.” Ketika mendengar perkataan itu rebahlah Ananias dan putuslah nyawanya. Kemudian istrinyapun mengalami nasib yang sama dengan Ananias putus juga nyawanya. Lagi- lagi Iblis menyerang hati manusia sehingga manusia menjadi pendusta dan hatinya tidak ada lagi berada di dalam kebenaran Tuhan, dengan tujuan agar manusia tidak lagi dapat mengasihi Tuhannya dengan sepenuh hatinya dan akhirnya manusia tersebut sangat mudah sekali jatuh dalam dosa dan terkalahkan. Waspadalah pada saat kita akan mengambil suatu tindakan atau suatu keputusan, perlu dipikirkan masak- masak . Apakah melanggar firman Tuhan atau tidak.

Jadi hati itu yang terdapat pada setiap manusia sangatlah penting, yang untuk kita jaga dan pelihara dengan sebaik- baiknya dan penuh rasa tanggung-jawab, agar supaya kita tetap sepenuhnya mengasihi Tuhan, Allah kita. Karena pada hati itulah terpancar kehidupan bagi tiap- tiap manusia (Ams 4- 23). Untuk lebih jelasnya fungsi hati kita, tolong baca kembali dalam tulisan yang lalu di Blog saya ini yang menceritakan soal hati.

Kedua: Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap jiwamu; Artinya: Berbicara mengenai jiwa yang dipunyai manusia, adalah juga berbicara yang mencakup pikiran dan perasaan atas si manusia itu sendiri. Yang kalau tidak terkontrol bisa berkembang kearah pemuasan hawa nafsu dan kecenderungannya hanya mementingkan diri sendiri dan terkesan egois. Kemudian pada akhirnya tidak lagi mementingkan keinginan Tuhannya, sehingga hidupnya terkesan semau gue. Apa yang mereka mau lakukan dan kerjakan, mereka akan lakukan dan kerjakan, walaupun hal itu melanggar firman Tuhan. Mereka tidak perduli, yang penting mereka merasa puas telah melakukan dan telah mengerjakan sesuatu sesuai selera yang mereka sudah rancangkan sebelumnya pada jiwa mereka. Kemudian mereka juga tidak perduli apakah rancangannya itu sesuai dengan firman Tuhan, atau tidak. Demikianlah hidup mereka dari hari demi –hari hanya untuk memuaskan hawa nafsunya. Lebih konyolnya lagi mereka bukan manusia yang tidak percaya akan Tuhan, mereka beragama, mereka sering ke Gereja, bahkan mereka aktif menjadi pengurus Gereja. Misalnya; Ada yang penjadi penatua, ada yang menjadi diaken dan bahkan ada yang menjadi pembicara Firman( pendeta atau pengkhotbah). Mengapa hal itu bisa terjadi? Kembali kepada Firman, karena mereka tidak mengasihi Tuhan, Allahnya dengan segenap jiwa mereka. Akan tetapi hanya sebagian dari jiwa mereka mengasihi Tuhan, Allahnya. Ke Keristenan hanya dipandang sebatas sebuah Agama yang bisa dilakukan pada prakteknya dengan sekedarnya.

Contoh pada Alkitab kiranya membuat kita lebih mengerti lagi, terhadap seseorang yang tidak sepenuh jiwanya atau kehendaknya mengasihi Tuhan. Kisah ini diambil pada kita Matius 16: 21- 23; Pada waktu itu Yesus mulai menyatakan kepada murid- murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua- tua, imam- imam kepala dan ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga. Tetapi Petrus menarik Yesus kesamping dan menegor Dia, katanya: Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali- kali takkan menimpa Engkau.” Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: ”Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi- Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”

Kita lihat disini sangatlah jelas, jiwa atau keinginan Petrus bertentangan dengan kehendak Tuhan dan lagi kenapa Yesus menyebut Petrus itu Iblis. Artinya jika ada seseorang yang keinginannya bertolak belakang dengan keinginan Tuhan, ia dalam pengaruh si Iblis. Sebab pada perikop ini Yesus sedang menjelaskan ke Mesiasan-Nya atau karya penebusan dosa untuk umat manusia agar segera dilaksakan- Nya, akan tetapi disini Petrus tidak setuju. Karena Petrus beranggapan kalau Yesus bisa menghindari kejadian itu kenapa tidak memilih jalan yang lain, kalau Yesus bisa melarikan diri kenapa tidak lari saja ketempat yang lain, bukan? Sebab alasan Petrus kalau Yesus mati, pupuslah harapan Petrus yang sudah dia rancangkan untuk memmanfaatkan Yesus untuk kepetingan dirinya sendiri, sehingga tanpa Petrus sadari pengaruh Iblis sedang bermain dalam jiwa rasul Petrus tersebut, hal ini diketahui oleh Tuhan Yesus. Disini juga Petrus mencoba untuk mengatur Tuhan, yang setiap kali hal yang sama juga sering kita lakukan pada kehidupan kita sehari- hari, yang kita pikir aturan kita lebih baik dari aturan Tuhan, keinginan kita lebih baik dari kehendak Tuhan. Sesungguhnya kita harus ingat ada firman Tuhan yang mengatakan: Rancanganmu bukan rancangan- Ku, jalanmu- bukan jalan- Ku. Yach, kan? Hati- hati yach, dengan pengaruh si Iblis tersebut, biarlah kita lebih peka lagi. Aleluyah!

Ketiga: Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap akal budimu; Artinya: Akal budi adalah berbicara soal pengetahuan. Pengetahuan yang ada pada manusia adalah kepunyaan Tuhan bukan kepunyaan manusia itu sendiri, sehingga pengetahuan itu selayaknya untuk mengasihi Tuhan kita Yesus kristus sepenuhnya.
Manusia dengan pengetahuan atau akal budinya bisa melakukan apa saja atas sesuatu yang mereka akan perbuat, termasuk hal yang paling menghancurkan dan hal yang paling mengerikan. Banyak contoh- contoh kejadian yang terjadi di dunia ini, semisal dengan kejadian peperangan yang ada dibelahan bumi lainnya, sampai dengan ketidak percayaan manusia kepada Allah pencipta mereka. Di dalam Alkitab juga banyak contoh- contoh manusia melawan sang Khaliknya dengan pengetahuan atau akal budi yang mereka punya. Ingat kisah manusia yang mendirikan menara Babel?

Pada setiap peristiwa pemurtadan yang dilakukan umat Kristen atas kepercayaannya dengan berpindahnya kepada kepercayaan lain, faktor akal budi atau pengetahuan ini memegang peranan yang sangat besar sekali. Mengapa demikian? Seringkali akal budi atau pengetahuan mereka sering goyah pada saat mereka ditawari sesuatu materi, jabatan atau sesuatu doktrin dari kepercayaan lain, apalagi yang berhubungan dengan perkawinan. Sehingga lunturlah kasih mereka kepada Tuhan Yesus. Sebenarnya kalau akal budi atau pengetahuan kita sepenuhnya mengasihi Tuhan Yesus yang telah menebus dosa- dosa kita dengan pengorbanannya diatas kayu salib, murtadnya umat Tuhan tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi. Walaupun ada tawaran yang menggiurkan dari orang – orang yang tidak seiman kepada kita, yang untuk mempengaruhi pengetahuan atau akal budi kita. sebab pengetahuan kita yang kita punyai itu, hanya diperuntukkan setia seutuhnya kepada Tuhan Yesus saja sampai mati dan lagi pula gelap dan terang tidak bisa bersatu. Hal inilah yang Tuhan Yesus maksudkan untuk kepada kita, agar jangan oleh karena kepentingan sesaat saja kita mengambil resiko dengan mengorbankan kehidupan kekal kita bersama dengan Yesus Kristus. Sayang, kan!?

Keempat: Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap kekuatanmu; Artinya: Kekuatan yang dipunyai manusia adalah merupakan suatu sumber energi yang menjadikan manusia tersebut bisa bergerak, bertindak dan dalam melakukan segala aktifitasnya sehari- hari. Pengaruh kekuatan atas manusia yang ada di dunia ini ada dua, yaitu pengaruh kekuatan Tuhan dan pengaruh kekuatan setan atau yang jahat. Kalau kekuatan yang manusia punyai tersebut tidak sepenuhnya mengasihi Tuhan, bisa dapat dipastikan untuk menjadi pelaku firman Tuhan manusia itu akan mengalami kegagalan. Penyebabnya adalah kekuatannya akan lebih memilih melakukan tindakan kedagingannya alias melakukan dosa dan dikuasai oleh dosa tersebut, ketimbang melakukan kehendak Tuhan. Seperti yang Rasul Paulus katakan: Satu sisi aku ingin berbuat baik tetapi cenderung yang jahat yang aku lakukan. Sehingga rasul Paulus menyadari akan hal ini, yang pada akhirnya ia mengatakan: “Hidupku bukanlah aku lagi tapi Yesus yang didalamku.”

Dalam kitab Yakobus juga dikatakan: Iman tanpa perbuatan hakekatnya adalah iman yang mati. Oleh karena itu kekuatan kita hanya untuk mengasihi Tuhan Yesus saja dan tidak boleh setengah- setengah, tetapi harus sepenuhnya. Agar kita tidak lagi memberikan kesempatan pada kekuatan yang kita punya tersebut untuk dipengaruhidan bergerak dalam berbuat dosa dan tidak bisa dipakai lagi selamanya oleh pengaruh kekuatan Setan.

Kelima: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimiu sendiri; Artinya: Sesungguhnya apa yang ada pada diri kita, itu juga ada pada diri manusia lainnya. Apabila kita punya perasaan rasa sakit, orang lain juga punya hal yang sama. Jadi apabila kita sedang menyakiti orang lain sebenarnya kita sedang menyakiti diri sendiri juga. Apabila kita mencintai hidup kita, kita juga harus mencintai hidup orang lain. Tidak boleh kita mengatakan hidup kita lebih penting dari kehidupan orang lain. Tidak boleh kita mengatakan kelompok saya lebih hebat dari kelompok orang lain, walaupun kelompok kita mayoritas. Ingat penghakiman itu haknya Tuhan. Tidak boleh kita menghakimi orang lain apapun alasannya, memang kita Tuhan. Sesungguhnya ada hukum tabur tuai, lho! Apa yang kau tabur itu, nanti yang akan engkau tuai (Gal 6: 8). Hati- hati, Yach!?


Alangkah indahnya nilai hidup ini kalau kita memakai nilai- nilai firman Tuhan itu, kita bisa berbagi satu dengan yang lainnya, tidak ada lagi yang egois dan tidak ada lagi yang saling menyakiti. Itulah arti mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri sendiri, tidak mungkin kita mengasihi sesama kita tanpa memperhatikan diri kita sendiri, demikian pula sebaliknya kita tidak bisa mengasihi diri sendiri saja dengan mengabaikan kehidupan orang lain disekeliling kita. Dunia akan damai, dech.





Jangan Terlambat





Nats: Luk 16: 19-31

Situasi keterlambatan dalam menghadapi keadaan apapun, adalah hal yang merugikan bagi orang tersebut. Bahkan kerugian yang dideritanya akan teramat besar bagi orang yang bersangkutan, apabila dan apalagi menyangkut pengambilan keputusan tentang kehidupan antara dunia dan akherat yang terlambat tersebut. Bukan hanya penyesalan yang didapat tetapi juga pederitaan yang tiada akhir akan diterimanya. Hati- hati Yach!?

Pada nats Alkitab di atas menceritakan keadaan seorang anak manusia (seorang yang kaya) yang mengalami keterlambatan dalam mengambil suatu keputusan yang akan menentukan nasib dirinya kelak pada dunia setelah kematiannya, yang akhirnya berakhir di Neraka.Lebih jelasnya bukan hanya terlambat mengambil keputusan untuk dirinya saja, akan tertapi juga untuk seluruh keluarga besarnya. Untuk itu mari kita lihat urut- urutan ceritanya yang lebih lengkap mengapa sampai terjadi hal yang demikian.

Pertama: Orang kaya ini terlambat mengantisipasi sinyal dari Tuhan. Orang kaya ini oleh karena kekayaannya yang demikian banyak, kerjanya setiap hari hanya berpesta pora, bermabuk- mabukan dan melakukan hal- hal yang najis.Pada hal didepan pintunya ada Lazarus yang miskin yang butuh pertolongannya dan yang untuk dikasihinya, tetapi orang kaya itu tidak menggubrisnya. Orang kaya ini berfikir bahwa berbuat kasih akan sesama itu adalah hal yang sia- sia ketimbang dia mengasihi dirinya sendiri yang menguntungkannya. Padahal orang kaya itu lupa bahwa mengasihi sesama itu adalah sangat penting supaya orang tidak lupa akan Tuhannya, akan peciptanya dan dari mana kekayaan itu dia dapat kalau bukan Tuhan yang memberikannya. Lihat dua hukum yang utama pada Alkitab. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri.
Sesungguhnya Lazarus berada di depan pintu rumah orang kaya tersebut bukanlah suatu hal yang kebetulan, karena semua peristiwa yang terjadi di manapun berada di dunia ini bukanlah sebuah peristiwa yang kebetulan. Akan tetapi semuanya itu diketahui oleh Allah.
Pada Alkitab terjemahan bebas, yaitu terjemahan bahasa sehari- hari dikatakan demikian: Maka diletakanlah Lazarus di depan pintu rumah orang kaya itu. Berarti disini ada tangan yang berkuasa yang mengatur keberadaan Lazarus untuk berada disitu, itu pasti tangan Tuhan, itu pasti ada maksud Tuhan terhadap orang kaya tersebut. Akan tetapi sayang orang kaya itu tidak menyadarinya sinyal untuk dirinya itu, oleh karena terlalu sibuk dalam keseharian yang kesenangannya terus berbuat dosa. Sehingga keadaan tersebut berlalu begitu saja sampai ajal menjemputnya. Terlambat.

Sekarang patut kita sadari pada saat kita mendengar pemberitaan Injil ini janganlah kita tidak menyadarinya, itu bukanlah peristiwa kebetulan termasuk anda yang membaca tulisan ini, karena dibalik semua itu ada sinyal dari Tuhan untuk kita bertobat dan berbalik kejalan yang Tuhan inginkan. Ingat ada hari kematian bagi kita semua yang akan kita alami semua dan tidak ada seorangpun yang bisa menghindar dari peristiwa tersebut.

Kedua: Orang kaya ini terlambat bertobat. Dikatakan oleh Alkitab:... Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat- malaikat kepangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut ia memandang keatas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk dipangkuannya. Lalu ia berseru, katanya: Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukan lidahku. Sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini. Situasi ini tidak bisa berubah sepanjang masa atas orang kaya yang di Akiltab tersebut. Ironi.

Setiap manusia pada saat sudah mati bukanlah lagi disebut manusia, dengan demikian batasan pertobatan atas manusia adalah sebelum kematiannya. Alkitab tidak mengajarkan setelah kematian ada lagi yang namanya pertobatan, karena Alkitab tidak memakai sistem reinkarnasi, Alkitab juga tidak mengajar masih ada hubungannya yang masih hidup dengan yang sudah mati, karena adanya jurang yang tak bisa disebrangi antara dunia orang mati dengan dunia orang hidup dan juga Alkitab tidak mengajar orang yang masih hidup berdoa dan berbicara dengan orang yang sudah mati, karena Alkitab mengatakan itu adalah kekejian dihadapan Tuhan .

Tetapi sebaliknya Alkitab mengajar kepada kita, selagi kita masih disebut sebagai manusia, pintu pertobatan tetap dibuka seluas- luasnya, karena pengadilan Tuhan tidak bisa dipermainkan oleh manusia, yang pada masa hidupnya notabene mempermainkan panggilan-Nya dan kedatangan- Nya. Jangan terlambat!

Ketiga: Orang kaya ini terlambat bersaksi. Di katakan oleh Alkitab, Kata orang itu: Kalau demikian, aku minta kepadamu, bapa, supaya engkau menyuruh dia ke rumah ayahku, sebab masih ada lima orang saudaraku, supaya ia memperingati mereka dengan sungguh- sungguh, agar mereka jangan masuk kelak ke dalam tempat penderitaan ini. Tetapi kata Abraham: Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengar kesaksian itu. Jawab orang itu: Tidak, Bapa Abraham, tetapi jika ada seorang yang datang dari antara orang mati kepada mereka, mereka akan bertobat. Kata Abraham kepadanya: Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati.

Argumentasi atau alasan bapa Abraham sungguh amat tepat, buktinya Tuhan Yesus yang telah bangkit dari kematian-Nya dan mengabarkan Injil Keselamatan, sampai sekarang masih banyak yang tidak percaya dan bertobat, dengan berbagai alasan manusia mencoba menolak- Nya.
Kejadian percakapan diatas sekali lagi membuktikan, tidak ada hubungannya orang yang sudah mati dengan yang masih hiudup. Walaupun sempat di coba oleh orang kaya itu kepada bapa Abraham, agar Lazarus dihidupkan lagi dan memberi berita kepada lima saudarany a yang masih hidup di dunia ini, untuk tidak seperti dia masuk ke Neraka.

Memberitakan Injil adalah suatu keharusan bagi kita sebagai umat yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Agar kita bukan hanya berkumpul di Bumi akan tetapi juga berkumpul di Sorga. Aleluyah, amien.



Tujuan Sebuah Keluarga Bagian 1


Nats : Kej 2:18-23

Dalam Kej. 2 kita akan melihat bahwa ketika suatu keluarga dijadikan oleh Tuhan, Ia menginginkan adanya tiga sifat utama ada di dalam suatu keluarga yang baik: Pertama, Sifat baik/ bajik. Allah tidak pernah menginginkan keluarga dibentuk untuk menjadi satu bagian yang susah, sengsara, menderita, hancur, dsb. Namun kita akan pesimis kalau melihat hubungan orang tua-anak, relasi suami-istri, kehidupan seksual, moralitas dan trend masyarakat di dalam format keluarga hari ini. Kalimat pertama dalam Kej. 2:18 jelas mengatakan bahwa ketika Allah menciptakan manusia, dan ketika itu hanya terdapat satu (pria) saja, maka Ia berfirman, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Berarti Allah tidak menginginkan yang tidak baik! Keluarga dicipta untuk menjadi keluarga yang baik, tetapi di dalam kenyataannya jauh daripada apa yang Allah inginkan.


Kedua, Sifat tanggungjawab. Ketika Allah melihat manusia itu belum terbentuk menjadi satu keluarga yang baik (sebelum Allah menciptakan Hawa bagi Adam), maka Ia melakukan serangkaian penciptaan, yaitu dibentuk-Nyalah dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara (binatang dicipta dengan cara yang sama seperti manusia, hanya tidak diberikan nafas hidup). Namun di dalam struktur menggumulkan keluarga bagian ini seringkali dilewatkan. Banyak agama lain maupun agama sesat jaman ini (hypercalvinistic) yang menganggap bahwa manusia berkeluarga secara predestinasi, sehingga mereka menganggap Allah yang salah ketika ia salah menetapkan pilihannya. Suatu keluarga bukan dicipta menjadi keluarga robotik melainkan harus ada pemilihan, berproses dan berjuang sehingga akhirnya ia harus mempertanggung-jawabkan pilihannya. Sehingga ketika seseorang ingin membangun keluarga maka ia harus berani membangun tanggungjawabnya secara tepat, dengan demikian keluarga itu dapat diproses seperti yang Tuhan inginkan.
Ketiga, Sifat kekudusan. Allah bukan sekedar menginginkan manusia berkeluarga secara baik dan bertanggungjawab melainkan juga harus secara kudus. Alkitab mengatakan, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.” Hidup di dalam kekudusan yang sejati mempunyai dua aspek: kekhususan (spesifik, satu pria-satu wanita) dan kesucian secara keseluruhan (tidak ada cemar/dosa). Sehingga ketika kekudusan itu dilanggar maka manusia telah mencemarkan nama Allah yang kudus dan mengalami disharmonis karena keluarga merupakan miniatur Allah Tritunggal. Ketika salah satu hal diatas dilanggar maka keluarga akan mengalami kerugian karena tidak lagi mencapai apa yang seharusnya didapatkan secara maksimal dalam Tuhan Allah.


Kita akan mulai membahas tujuan keluarga mulai dari hal yang pertama, yaitu tujuan menjadi baik. Satu kontras yang sedang terjadi saat ini dimana banyak orang yang membuka kesaksian realita yang akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa hidup berkeluarga itu akan menyuitkan, banyak masalah dan penderitaan sehingga itu tidak baik. Demikian juga di dalam Kekristenan, ketika menikah maka kita dianggap lebih bersifat duniawi/ kedagingan, tidak memperhatikan kerohanian kita dan tidak suci. Maka timbul bias seolah pernikahan itu adalah suatu lembaga yang tidak baik dan tidak bersifat rohani. Namun Alkitab dari awal menegaskan bahwa ketika Adam seorang diri maka saat itu dikatakan tidak baik karena sebagian natur yang menyempurnakan manusia masih belum ada (Haish & Haishshah). Maka ketika pria atau wanita saja berarti ia baru mempunyai separoh natur keutuhan semua kesempurnaan kemanusiaan karena ada unsur-unsur manusia yang tidak dimiliki oleh pria dan demikian pula sebaliknya, dan masing-masing memiliki kelebihan serta kekurangan yang ketika keduanya disatukan baru mencapai kesempurnaan. Itulah integrity of human being!


Tujuan Sebuah Keluarga Bagian 2

Satu ide yang harus dimengerti adalah bahwa ketika kita mengarap sebuah pernikahan, itu justru mengarap satu keindahan dimana kita boleh mendapatkan satu keutuhan bersama yang tidak untuk dipertentangkan melainkan untuk dikomplementasikan. Di dalam perjalanan manusia jatuh dalam dosa, aspek yang pertama kali dirusak oleh Iblis adalah aspek keluarga (relasi antara Adam dan Hawa). Sehingga relasi yang seharusnya menjadi relasi komplementasi menjadi relasi yang destruktif dan disharmonis dan akhirnya satu sama lain saling menghancurkan dan menjadi musuh bagi pasangannya sendiri. Dan keindahan pernikahan yang harusnya dapat terjadi hari ini telah mengalami distorsi pemikiran, realita, sosiologikal, psikologikal, dsb., yang semua mengakibatkan dunia kita mempunyai image yang tidak tepat tentang keluarga.


Selanjutnya di dalam Mat 19:12 Yesus mengemukakan tiga hal yang menyebabkan pernikahan tidak dapat dijalankan: Kasus pertama, orang yang tidak dapat menikah karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya (cacat secara lahiriah/ cacat bawaan). Tetapi di dalam seluruh catatan medis, orang yang cacat sejak lahir (mis: ketidakadaan alat kelamin, keanehan di dalam struktur genetika, dsb.) itu menjadi sangat minoritas di dalam dunia. Dan hal ini memang terjadi di dalam dunia sebagai efek dosa. Namun ini bukanlah general understanding yang dapat dijadikan alasan untuk tidak menikah. Kasus kedua, ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain. Efek pelaksanaannya sangat banyak, baik secara fisical, sosiological, hingga politik. Secara fisikal terjadi pada sida-sida yang sengaja dikebiri supaya mereka tidak dapat menikah. Adapun efek pelaksanaan secara sosiologikal terjadi karena pembentukan keluarga dan masyarakat yang tidak beres. Beberapa data menunjukkan bahwa jikalau dalam satu keluarga, struktur keluarga tersebut terbalik (istri lebih dominan dan suami menjadi submisif), itu akan menghasilkan anak yang mengalami problem dalam kehidupannya, kehilangan figur diri dan akhirnya kesulitan mencari teman hidup. Ada juga anak-anak yang dididik secara berbeda dari yang seharusnya (anak perempuan dididik dan di paksa menjadi laki-laki, demikian pula sebaliknya), sehingga akibatnya ia tidak dapat bergaul lagi dengan pria secara wajar karena sudah terlalu maskulin. Adapun salah satu efek pelaksanaan secara politik yang hari ini sangat relevan adalah kepincangan yang diakibatkan terlalu banyaknya peperangan yang terjadi di dunia. Peperangan ini telah menyebabkan berjuta-juta pria di usia pertumbuhan harus mati di medan pertempuran. Yang akibatnya, saat ini wanita menjadi dominan secara quantitatif dibandingkan pria, dan akhirnya akan banyak wanita yang menjadi korban tidak mendapat bagian pria. Tetapi dengan demikian bukan berarti setiap pria boleh memiliki istri lebih dari satu. Yang harus dijalankan adalah menghentikan perang sehingga tidak banyak pria yang mati di peperangan.
Disini harus ada penyelesaian dengan tuntutan pertobatan yang sungguh dari setiap orang untuk kembali pada kebenaran. Yang manusia lihat seringkali hanyalah begitu banyaknya homo seksual, dan keanehan yang lain, namun mereka tidak melihat dari mana semua itu berasal. Dan hari ini seolah semua itu disetujui dan menjadi efek normal manusia. Disini bagaimana kekristenan harus berteriak keras menyatakan bawa hal itu merupakan kekejian dimata Tuhan dan tidak ada kemungkinan lain selain hukuman mati. Setiap manusia mempunyai bakat defiasi seksual sejak jatuh dalam dosa dan hal itu seharusnya tidak boleh dibiarkan dan dilampiaskan, demikian juga free sex, pelacuran, dan segala bentuk lain yang dikutuk oleh Tuhan sebagai perjinahan. Disini gereja harus mengerti bagaimana mengampuni, tetapi juga tidak mempermainkan kesucian gereja, sehingga harus bermain di tengah secara seimbang dan tepat.


Kasus ketiga, ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Di tengah berjuta manusia, ada orang yang Tuhan panggil untuk mengkhususkan diri melayaniNya. Bagian I Kor 7:38 seringkali dipakai orang-orang tertentu, dilepaskan dari konteksnya untuk membenarkan bahwa nikah itu tidak baik. Padahal kalau kita perhatikan, ada dua hal yang harus diperhatikan dan diwaspadai di dalam ayat sebelumnya(ay 24-26). Ketika dikatakan: “Hendaklah tiap-tiap orang tinggal di hadapan Allah dalam keadaan seperti pada waktu ia dipanggil,” itu berarti bahwa kita berjalan bukan menurut apa yang kita ataupun masyarakat mau tetapi menurut apa yang Tuhan mau di dalam panggilanNya. Kemudian dalam ay. 25-26 terdapat perbedaan qualitatif yang Paulus tegaskan. Sehingga ini harus dimengerti di dalam satu konteks situasi tertentu dan di dalam kondisi yang tertentu pula, dan hal itu tidak dapat dijadikan rumus umum yang diterapkan pada semua orang. Alkitab tidak mengatakan bahwa kalau selama-lamanya kita tidak menikah dengan gadis kita itu baik, tetapi hal ini adalah di dalam kasus tertentu dimana keadaan sudah sangat kritikal sehingga dituntut keadaan seperti itu.


Tujuan Sebuah Keluarga Bagian 3

Untuk itu Paulus memakai contoh dirinya, bagaimana akhirnya demi panggilan Allah yang sangat krusial ia harus merelakan hal itu. Bagi orang tertentu dimana Tuhan ingin pakai orang tersebut, ia harus rela menyerahkan segalanya, termasuk mungkin orang yang dicintainya. Di dalam kasus seperti ini Tuhan memberikan satu kemungkinan dimana akhirnya orang tersebut dikatakan dalam Alkitab “dinikahkan dengan Allah.” Mungkin di dalam melakukan pelayanan misi ia akhirnya harus mengalami kesengsaraan, pergi berkelana dari tempat ke tempat yang sangat susah dan bahkan menjadi martir di hadapan Tuhan, sehingga akan sangat rumit baginya kalau berkeluarga. Namun ketika seseorang dipanggil khusus untuk menjalankan tugas maka Tuhan yang akan memberikan kekuatan khusus bagi orang tersebut. Ini yang menjadi pertentangan di dalam gerakan kekristenan dalam gereja Roma Katholik hari ini, dimana di dalamnya mulai terdapat pertentangan keras karena menuntut biarawan/biarawati yang bukan karena panggilan khusus supaya mereka diperkenankan menikah. Bahkan sampai terbongkarnya banyak skandal di dalam yang menunjukkan bahwa memang bukan seharusnya seperti itu, tetapi suatu hal yang dipaksakan. Karena justru untuk kepentingan pastoral dibutuhkan mereka yang menikah. Hal kedua yang perlu di waspadai adalah ketika hal itu tidak seharusnya dijalankan maka gereja akan kehilangan potensi bagaimana menjadi saksi. Sebab ketika tidak ada pendeta yang menikah maka tidak ada yang dapat dijadikan contoh suatu keluarga yang baik, karena yang ada hanyalah teori belaka.


Sehingga disini kita melihat perlunya bagaimana secara tepat memproporsikan panggilan Allah di dalam diri kita. Jangan karena kita terlalu cerewet dalam memilih pasangan hidup dan kita merasa semua tidak cocok bagi kita, maka akhirnya kita berkata bahwa Tuhan memanggil kita secara khusus untuk itu. Tuhan tidak menentukan hal seperti itu, tetapi bagaimana kita harus mengarap komplementasi yang tepat sehingga kita tidak mempermainkan ayat ini. Ini menjadi satu gambaran, bagaimana kita boleh memancarkan satu proses dinamis sebagai manusia yang berelasi, menjalankan kebajikan, tanggungjawab, dan kekudusan yang Tuhan tuntut bagi setiap kita. Dengan format itulah baru kita bisa menyaksikan pada dunia satu bentuk relasi yang terindah yang Tuhan inginkan di dalam hidup kita. Saya harap ini boleh membangun setiap kita sehingga boleh mengerti secara tepat bagaimana kita memproses hidup kita di dalam satu struktur kekeluargaan yang Tuhan inginkan.

Tujuan keluarga yang kedua adalah Tuhan menginginkan keluarga itu bertanggungjawab. Ini harus menjadi elemen dan dasar dari setiap keluarga dimana setiap anggotanya bertanggungjawab kepada Tuhan. Manusia adalah mahkluk yang dicipta dengan akal budi dan kepadanya diberikan tugas untuk dapat memilih berdasarkan pada satu bijaksana (wisdom), dimana setiap pemilihan harus disertai dengan tanggungjawab. Manusia sebagai gambar dan rupa Allah dicipta mempunyai kemampuan untuk dapat memikirkan, mengatur dan melakukan pemilihan. Dan hal ini tidak terlepas juga di dalam permasalahan keluarga. Ketika kita mau berkeluarga, kita penuh dengan berbagai pilihan dan tuntutan pertanggungjawaban. Dan ini memang menjadi natur dasar manusia agar hidup dengan tepat. Jikalau kita lihat dari kitab Kejadian hingga Wahyu, prinsip manusia harus bertanggungjawab merupakan satu prinsip yang harus terus-menerus ditegaskan oleh Tuhan. Di dalam kitab Kejadian, ketika Tuhan mencipta manusia di taman Eden, Tuhan sudah mulai menuntut pertanggungjawaban manusia dan itu merupakan hak kedaulatan Allah ketika mencipta. Sehingga ketika dikatakan, semua pohon boleh mereka makan, kecuali satu yaitu pohon pengetahuan baik dan jahat yang berada di tengah taman tersebut, banyak orang yang sengaja ingin melarikan diri dari tanggungjawab mempermasalahkan, apakah Tuhan tahu bahwa manusia akan jatuh dalam dosa karena jikalau Allah tahu mengapa Ia tidak mencegahnya. Itu merupakan satu sikap yang sangat tidak bertanggungjawab dimana manusia hanya mau mengerti dari konsep manusia berdosa dan bukan dari sudut pandang Allah. Karena peletakan pohon pengetahuan baik dan jahat di tengah taman itu merupakan the absolute necessity (keharusan mutlak) supaya manusia mempunyai tanggungjawab penuh memilih untuk makan ataupun untuk tidak makan. Dan itu membuat manusia tahu bagaimana ia bertindak, dimana antara pilihan dan tanggungjawab pilihan itu tidak dapat dilepaskan.


Saat ini manusia modern sedang berusaha menyingkirkan seluruh tanggungjawab pemilihan. Dan ini menjadi satu bahaya besar karena manusia hanya menginginkan hak dan tidak mau kewajiban. Di dalam Mzm 37 dan 73 diceritakan bagaimana orang fasik yang seolah-olah hidupnya begitu enak dan aman tetapi sebenarnya sedang akan dibinasakan. Manusia tidak akan mungkin melewati tanggungjawabnya di hadapan Allah karena yang mungkin ia lakukan hanya menunda tanggungjawabnya untuk masuk kedalam pertanggungjawaban yang lebih besar, yang suatu saat tidak dapat ditahan lagi olehnya. Ketika manusia hidup menikah, seringkali mereka hanya mau memikirkan hak dan kalau bisa meninggalkan tanggungjawab. Dalam konsep Alkitab jelas dikatakan tidak ada konsep “pacaran” karena yang ada adalah “pertunangan.” Disini yang dipersoalkan bukanlah istilah, melainkan content (isinya) karena itulah yang menjadi pusat. Di tengah manusia sekarang ini kita seolah berada di dalam dualisme, masuk dalam dua persoalan yang seolah keduanya sangat ekstrim dan sangat berbeda, namun keduanya pada dasarnya ingin melepaskan tanggungjawab. Disatu pihak mereka sangat ekstrim menekankan kedaulatan Allah (predestinasi) sehingga ketika mereka menikah dengan orang non Kristen dan menemui permasalahan maka mereka anggap, itu Tuhan juga yang menetapkan. Sedangkan yang lain sangat ekstrim menekankan kedaulatan manusia. Mereka berpendapat dating atau pacaran adalah dua orang yang berjanji berjalan bersama dan tidak ada keseriusan untuk menuju ke jenjang pernikahan, dan yang terutama dalam semuanya itu Tuhan tidak turut campur. Ide-ide seperti ini membuat konsep dunia tentang pernikahan menjadi rusak.


Tujuan Sebuah Keluarga Bagian 4

Kekristenan menggunakan istilah pertunangan dengan ide membangun satu konsep bahwa ketika berpacaran itu berarti kita sedang menuju pernikahan, dan tidak ada ide untuk coba-coba. Dengan demikian kita benar-benar bergumul bagaimana Tuhan memimpin kita menemui seseorang, melihat berdasar pada kriteria yang Tuhan telah tetapkan, dan untuk secara tepat kita berproses dengannya. Hal inilah yang secara mutlak harus ada dalam Kekristenan! Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa manusia bertanggungjawab memilih dan menentukan pilihannya sehingga apapun konsekuensi yang ada di belakang pernikahan kita, itu adalah tanggungjawab kita. Namun karena lembaga pernikahan merupakan lembaga yang ditetapkan oleh Allah, maka Allah tetap turut campur dalam hal itu. Allah yang memimpin pernikahan akan memimpin kita mendapatkan orang yang tepat seperti yang Tuhan inginkan, jikalau kita taat berjalan dan diarahkan olehNya. Secara jelas Alkitab telah menunjukkan dalam Kej 2:18 bahwa setelah manusia memberi nama satu-persatu binatang itu maka ia menarik kesimpulan, tidak ada seorangpun yang cocok menjadi teman sepandannya. Sehingga disini kita harus tahu apa artinya memberi nama dalam kebudayaan Yahudi. Tuhan tidak sekedar menginginkan Adam memberi nama semua binatang tetapi ketika ia memberi nama, nama tersebut harus menjadi identifikasi dan kharakteristik dari binatang itu. Hal demikian juga bukan tergantung pada banyaknya perempuan yang diciptakan Allah, tetapi disini Allah ingin menunjukkan bahwa hak pilih ada di tangan Adam, sekaligus membedakan antara wanita dengan binatang untuk menunjukkan kesepadanan yang sejati. Allah dengan tegas telah menunjukkan bahwa tidak ada kesepadanan antara manusia dengan binatang. Ini hal penting yang saya lihat menjadi ciri dosa dalam abad ini. Manusia saat ini dapat lebih dekat dengan binatang daripada dengan manusia lain, bahkan ada yang sangat keterlaluan hingga berhubungan seks dengan binatang. Ini merupakan perbuatan yang harus dituntut hukuman mati, karena itu adalah satu bentuk penajisan struktur lembaga pernikahan. Tuhan dengan cara yang begitu bijak telah mengatur semuanya dengan satu contoh dan peragaan sehingga seluruh persoalan yang paling penting sudah diselesaikan. Inilah bijaksana Tuhan yang melampau pemikiran manusia.


Selanjutnya, ada beberapa kriteria yang Tuhan tetapkan di dalam lembaga pernikahan sehingga ketika kita memenuhinya, itu menjadikan pernikahan itu terbaik buat kita. Yang pertama, Ketika manusia itu separoh maka ia membutuhkan komplemtasi yang sepadan. Orang seringkali salah mengartikan kata sepadan dengan menganggap setingkat. Kata sepadan (Ibrani: neged) berarti berseberangan dan berhadap-hadapan), dan ketika digabungkan dengan kata ‘ki’ (bersama-sama) menjadi “kenegedo”, yang artinya dua benda yang berseberangan, yang menempel bersama dan saling mengisi kekurangan dan kelebihannya. Sebagai contoh, komplemen sudut 30 derajat adalah sudut 60 derajat, supaya membentuk sudut keseluruhan 90 derajat. Kedua, Seiman. Setelah jatuh dalam dosa maka manusia terbagi menjadi dua yaitu anak Tuhan, orang yang percaya dan hidup di dalam prinsip Firman Tuhan dengan orang yang tidak di dalam prinsip Firman Tuhan. Sehingga jelas disini bahwa terang tidak dapat bersama dengan gelap karena fondasi dasarnya tidak mungkin sama, dan ketika dilanggar itu menjadi masalah besar yang sulit diselesaikan. Maka tidak ada yang lebih baik dari menemukan pasangan hidup yang sepadan dan seiman. Kita seringkali menginginkan pasangan yang sangat sempurna tetapi jika demikian maka saudara tidak tahu diri karena menganggap diri sendiri juga sempurna, atau justru terlalu jelek sehingga pasangan kita harus melengkapi seluruh kekurangan kita. Dan ketika ia begitu sempurna maka orang tersebut sebenarnya sudah tidak membutuhkan orang lain untuk melengkapinya. Sehingga untuk menikah kita perlu tahu diri kelebihan apa yang kita memiliki untuk dibagi dan kekurangan apa yang bisa diisi oleh pasangan kita. Dan memang yang Tuhan inginkan adalah supaya kita mencari yang seiman dan sepadan sehingga menghasilkan kepenuhan dalam semuanya. Namun untuk mencari semua itu kita membutuhkan bijaksana, ketelitian, dan berdoa, mohon pimpinan Tuhan untuk mengarap komplementasi di dalam diri kita. Disini perlunya kita melibatkan Tuhan menjadi Lord (Tuhan kita) untuk pernikahan kita.


Istilah ditentukan, yang sesungguhnya dalam bahasa Inggris dikatakan, “has chosen for” (Kej 24: 14; 44) seringkali menimbulkan salah penafsiran. Sehingga para penganut “takdir pasangan hidup” menggunakan argumen tersebut sebagai landasan bahwa Tuhan memang telah mempredestinasikan pasangan bagi setiap orang. Padahal istilah “has chosen for”, NIV menerjemahkan sebagai Tuhan memilihkan, berasal dari bahasa Ibrani (asyer-hokiah), yang mengan-dung arti bagaimana Tuhan mengarahkan orang kepada yang benar (memimpin pada kebenaran keadilan). Sehingga pemilihan tetap dilakukan oleh hamba Abraham, namun Tuhan yang mengarahkannya sehingga hamba tersebut dapat memilih apa yang menjadi kriteria Allah atau yang ditetapkan oleh tuannya. Dengan demikian tidak satupun dari pengertian kata tersebut yang berarti bahwa Allah telah menentukan dari semula siapa yang menjadi jodoh bagi Ishak. Ini merupakan satu hal yang sangat serius, yang ditetapkan oleh Tuhan dengan teliti sekali! Disini kita melihat providensia Allah dan sifat perspective will (kehendak Allah yang bersifat perseptif) yang dikerjakan di dalam kita dalam mengarap pernikahan kita. Suatu pernikahan harus digarap di dalam pertanggungjawaban yang terus-menerus hingga akhirnya dalam pasangan tersebut boleh muncul kemiripan (mutual).


Saya harap bagi saudara-saudara yang masih baru mau melangkah, silakan saudara sungguh-sungguh mengarap hal ini. Dan bagi saudara yang sudah melangkah, saudara harus memproses pernikahan saudara dengan penuh bertanggungjawab, sehingga akhirnya boleh mencapai apa yang Tuhan inginkan, yang akhirnya hal itu boleh menjadi satu kemuliaan bagi nama Tuhan.


Tujuan Sebuah Keluarga Bagian 5

Tujuan keluarga yang ketiga adalah Tuhan menginginkan keluarga itu kudus karena ini menjadi sifat Allah yang ingin dinyatakan melalui keberadaan keluarga. Kata kudus dengan suci merupakan dua kata yang sangat terkait erat sekalipun kudus dengan suci mempunyai pengertian yang berbeda. Kudus mempunyai pengertian dikhususkan/dipisahkan untuk satu tugas yang Allah ingin kerjakan melalui mereka dan di dalam diri mereka. Sebagai orang kudus kita dipisahkan dan mempunyai relasi khusus dengan Allah, dan specifikasi ini membuat hubungan kita dengan Allah baik. Namun ketika hubungan yang baik ini dirusak atau diselewengkan (ketika kita memiliki ilah lain), itu disebut sebagai perzinahan rohani. Dan untuk menghindar dari hal itu, kita mengkaitkannya dengan kesucian, dan inilah yang membuat tiga kata itu tercampur menjadi satu. Maka dalam aspek ini kita harus kembali memilah dan mengerti sifat kudus yang dinyatakan dalam ayat 24.


Ketika seorang laki-laki dipisahkan dan bersatu dengan isterinya, dan keduanya menjadi satu daging, maka mulai muncul sifat kekhususan atau exclusive dalam keluarga tersebut, yang meliputi beberapa aspek: pertama, Two become one (1 + 1 = 1). Alkitab jelas menegaskan bahwa konsep kudus pernikahan adalah satu pria (tunggal) dan satu wanita (tunggal) sehingga keduanya menjadi satu daging, dan kalimat ini diulang beberapa kali dengan kata dan jumlah angka yang tepat. Pernikahan Kristen adalah monogami murni dan mutlak supaya terjadi kesempurnaan. Tetapi apabila kesempurnaan itu ditambah ataupun dikurangi akan mengakibatkan kerusakan internal karena menjadi tidak sempurna. Maka monogami di dalam kekristenan bukan sekedar rekayasa manusia tetapi didalamnya ada unsur bagaimana kekekalan dan kesempurnaan ingin digenapkan melalui keluarga dan bagaimana manusia, pria dan wanita sedang menggambarkan satu komplementasi yang sangat penting untuk menjaga kekudusan mereka di dalam menjalankan misi Allah. Politik di dunia membuat komposisi pria-wanita menjadi tidak seimbang karena setiap tahun berjuta-juta pria dikorbankan dalam peperangan. Namun hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan mereka yang poligami, justru yang harus mereka lakukan adalah menghentikan peperangan dan komposisi dikembalikan. Tetapi hal itu akan sangat sulit dilakukan akibat dosa sudah merusak moralitas dunia kita. Di jaman Musa (+ 1600 SM), ide monogami bukanlah konsep umum yang dapat diimport melainkan konsep murni yang Allah tetapkan, yang menjadi perbedaan besar antara iman Kristen dengan seluruh konsep dunia hingga hari ini. Sehingga betapa indah kalau Tuhan mengajarkan suatu pengertian moralitas yang begitu tinggi untuk menjaga harkat manusia di dalam satu keutuhan supaya keluarga tetap kudus dan dipakai Tuhan sebagai saksi menyatakan kemuliaanNya. Namun sekarang ketika hukum sedang memperjuangkan harkat wanita, ada wanita yang senang dimadu. Ini menjadi pertanyaan serius bagaimana caranya harkat seorang wanita dapat ditegakkan dengan baik kalau ide seperti itu yang dikembangkan ditengah abad 20 ini?


Kedua, Monolitik eksklusif – suatu ungkapan keutuhan komplementasi. Nuansa eksklusifitas keluarga terjadi ketika suatu keluarga mempunyai bentuk monolitik (mono=satu; litik= satu batu utuh yang keras dan tidak dapat dipecahkan), yang artinya menjadi satu kesatuan yang unik, kekal dan sangat terikat. Hal yang penting dalam bagian ini adalah ketika seorang pria menikah, prinsip yang pertama kali yang harus dipikirkan adalah ia harus berani bertanggungjawab menjadi mandiri. Pria yang belum mampu berdiri, belum mampu bertanggungjawab dan tidak tahu bagaimana mengurus keluarga maka ia belum layak untuk menikah karena ia belum dewasa! Seorang pria harus mempunyai digniti, keberanian dan berjuang sekuat tenaga bekerja karena ia bertanggungjawab atas istri dan anaknya, membangun keluarga menjadi satu keutuhan monolitik eksklusif. Satu jiwa yang tidak boleh cengeng dan lemah melainkan terus berani berjuang di tengah hidup.


Ketiga, Independence and Responsibility (meninggalkan ayah dan ibu). Dilain pihak orang tua tidak boleh mengacak-acak keluarga anaknya. Anak setelah dewasa dan menikah maka ia keluar dan lepas dari ikatan keluarga dengan ayahnya. Seringkali di dalam budaya timur, apalagi dalam konsep confusionism aspek ini sangat berbahaya karena tidak mempunyai konsep Allah yang berpribadi dan yang berdaulat, sehingga ide seluruhnya hanya menegakkan humanisme murni. Sehingga konsep kedaulatan otoritas dipindahkan ke konsep yang paling tua/ paling besar dan timbul konsep otoritas ditangan yang lebih tinggi dan tidak bisa salah (seperti: raja berkuasa atas bawahannya; orang tua berkuasa atas anaknya). Maka kalau keluarga dikuasai oleh konsep confusionism, biasanya yang terjadi: ayah menjadi diktator dan semua yang dilakukan orang tua adalah benar dan tidak ada protes; biasanya istri takut sekali terhadap suami sehingga banyak aspek yang tidak dapat diceritakan pada suami, khususnya yang bersifat negatif. Sehingga hubungan suami-istri tidak dapat “telanjang” lagi; dan anak-anak ketika di dalam rumah bersikap baik karena takut tetapi diluar rumah menjadi minder atau liar (kalau mempunyai jiwa berontak). Alkitab mengajarkan bahwa bagaimanapun ayah adalah orang dan dapat berbuat salah sehingga ketika anak mereka sudah menikah maka orang tua tidak berhak turut campur dalam urusan keluarga anak, sekalipun anak tetap harus hormat terhadap orang tua. Karena hormat bukan berarti taat mutlak melainkan bagaimana menghargai orang tua. Disini kita harus sadar bahwa setiap keluarga mempunyai satu keunikan monolitik yang dijaga oleh firman Tuhan dan firman Tuhan mempunyai satu tuntutan bagaimana keluarga itu nanti akan dipakai oleh Tuhan untuk menjadi saksi Tuhan dimanapun mereka berada.


Banyak orang yang beranggapan salah bahwa anak merupakan milik mereka sehingga kita merasa berhak menentukan seluruh kehidupannya. Kita harus sadar bahwa setiap anak merupakan milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita sehingga kita harus membesarkan dan mendidik dengan tepat dan bertanggungjawab pada Tuhan. Banyak keluarga muda harus diam-diam menghadapi kesulitan dan pertengkaran dikarenakan harus menuruti orang tua dan tidak dapat menjalankan kehendak Tuhan atas pernikahan mereka serta kehilangan otoritas. Maka sebagai orang tua kita harus belajar bagaimana mengerti wilayah kerja, nasehat dan pengaruh orang tua terhadap anaknya. Dan firman Tuhan dalam hal ini melalui Musa menegaskan bahwa ini merupakan satu pengertian umum yang harus diterapkan kepada semua manusia di segala jaman, dan bukan hanya untuk Adam dan Hawa saja.


Keempat, Holiness/ Kesucian – tidak tercemar vs. Nude. ay. 25 mengatakan: “Keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.” Alkitab membedakan antara arom/ naked (arumim: plural) dengan “’nude”. Kata “arom” lebih menunjukkan satu keterbukaan spiritual dimana antara saya dengan orang lain sudah terjadi keterbukaan relasi yang tanpa batasan lagi. Kata “telanjang” saat ini sudah mengalami pengerusakan makna dan diselewengkan sehingga menjadi pengertian yang sangat duniawi sekali. Disini yang dipermasalahkan bukanlah telanjang-nya melainkan keutuhannya, yaitu suatu gambaran keintiman. Sehingga beda dengan kata “nude” yang lebih mengarah kepada ketelanjangan secara fisikal/ seksual. Maka ide tidak malu disini tidak sama dengan binatang atau nudisme karena pada binatang memang tidak perlu ada malu sedangkan malu yang sejati bukan atar manusia melainkan lebih kepada Allah (band Kej. 3:9). Ketika dikatakan keduanya telanjang dan tidak menjadi malu, yang ditekankan di dalam kalimat ini adalah keduanya berada dalam satu keterbukaan total sehingga relasi ini berjalan secara polos dan tidak ada hal yang perlu disembunyikan dan tidak ada satu ketakutan berhadapan dengan orang lain. Maka ketika Adam berdosa dan akan berhadapan dengan Allah ia merasa malu karena telanjang. Sehingga ide “malu” adalah penggambaran suatu kecemaran dimana relasi sudah tidak murni lagi akibat dosa! Demikian juga halnya dengan hubungan suami-istri yang sudah tercemar oleh hal-hal yang berdosa akan mengakibatkan mereka kehilangan hubungan relasi pribadi yang sangat eksklusif. Dengan demikian di dalam membicarakan keluarga as a holy family kita harus kembali melihat bagaimana sifat kekudusan yang Tuhan nyatakan di dalam format keluarga tersebut, dimana hubungan suami-istri yang terbuka, menjadi satu daging dan satu kesatuan relasi spiritual yang begitu indah.


Kelima, Spirituality vs. Sexuality. Keil dan Delitzsch melihat relasi suami-isteri yang masih dalam kesucian adalah “terbuka” dan “tidak malu.” Sehingga ide “telanjang” disini bukan merupakan ide fisikal melainkan spiritual (kerohanian kita) dimana satu hubungan batin antara kita dengan suami/ istri sama dengan hubungan kita dengan Allah yang dapat berjalan dengan baik satu sama lain. Sehingga ini perupakan aspek yang sangat serius dari arti pengudusan keluarga. Namun ketika dosa masuk, maka spiritualitas menjadi rusak dan manusia hanya melihat “ketelanjangan”/sifat seksualitas dan bukan “keterbukaan” ataupun sifat spiritual. Maka hubungan suami-istri hanya dilihat secara seksual dan bukannya spiritualm yang akhirnya menimbulkan banyak masalah karena sangat bersifat kedagingan. Aspek seksualitas sesungguhnya hanya menjadi pelengkap dan bukan merupakan tujuan yang utama dalam pernikahan. Disini tidak heran ketika dunia mendengar kata “telanjang” selalu beridekan seksualitas yang tanpa sadar sudah meracuni banyak orang, termasuk orang Kristen, sehingga kita tidak mampu lagi melihat apa artinya telanjang sebenarnya. Sehingga kita sebagai orang Kristen harus mengembalikan pengertian eksklusifitas sifat kudus yang tidak melanggar kesucian, karena ketika kita kudus, itu bukan berarti kesucian kita boleh dicemarkan melainkan kekudusan itu sangat terkait erat dengan sifat kesucian di dalam keluarga. Saya harapkan keluarga kita mempunyai konsep Kristen yang tepat sehingga relasi spiritual suami-istri juga boleh dipulihkan. Kitab Kejadian ps. 2 telah ditulis sejak 3600 tahun yang lalu, namun seringkali orang Kristen sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk menyatakan diri ke tengah dunia.


Mari kita belajar baik-baik dan terus memperbaharui diri, dan kembali bertekad membina keluarga, belajar menjadi pengaruh bagi orang lain sehingga kita boleh menjadi berkat di dunia, di abad ini.