-->

Profil Hamba Tuhan

Foto saya
Jakarta, Indonesia
Seorang Hamba Tuhan yang memiliki kerinduan untuk dapat memberkati banyak orang melalui Pastoral Konseling, dengan berbagai hal dan cara, salah satunya adalah melalui fasilitas dunia maya (Internet). Riwayat Pendidikan Teologi: - Sarjana Theology (S. Th) jurusan teologi, 1999. - Master of Art (M. A) jurusan Christian Ministry, 2002. - Master of theology (M. Th)Thn 2010. - Doctor of Ministry (D. Min)Thn 2009. God Bless You All.

Pendahuluan

Shallom, selamat datang di blog saya Pdt. Denny Harseno, M. A., D. Min. Saudara, saya senang sekali jika dapat memberkati saudara sekalian melalui setiap tulisan-tulisan dan artikel-artikel yang ada pada blog ini. Jika saudara ingin membaca setiap tulisan-tulisan dan artikel-artikel terdahulu yang ada pada blog ini, saudara cukup memilih label daftar isi blog atau dengan memilih pada arsip blog yang ada di samping kiri blog ini, dan silahkan mengisi buku tamu blog saya dibawahnya, agar saya dapat mengetahui siapa saja yang telah berkunjung diblog saya. Terima kasih atas perhatiannya, Tuhan Yesus Kristus memberkati.

03 Juni 2009

KEPERCAYAAN YANG SEJATI


Nats : I Petrus 1:2-8


Jika kita perhatikan, pada ayat 6 terdapat kalimat yang bersifat paradox (yang kelihatannya bertentangan) dimana dikatakan, "Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan." Itu tidak mudah! Kita dapat bersukacita pada saat jalan hidup kita lancar dan segala sesuatu beres tetapi disini justru dikatakan bergembiralah walaupun di dalam waktu yang seketika kamu mengalami satu dukacita. Dari ayat ini kita akan melihat dua hal yaitu: 1). Aspek Pencobaan. Dan 2) Manfaat dari pencobaan.


Ketika di ayat itu dikatakan "Bergembiralah akan hal itu", maksudnya adalah hal-hal yang di atasnya, yaitu berkenaan dengan keselamatan. Bergembira karena jemaat sudah memiliki keselamatan yang begitu indah yang dimulai sejak kekekalan dan yang dinyatakan dalam proses waktu (ayat 2). Kita harus membedakan dua dimensi sebab dimensi kekekalan tidak berada di dalam proses. Bagi Allah tidak ada past, present ataupun future tetapi selalu everpresent, selalu sekarang sedangkan di dalam proses ruang dan waktu kita mengenal adanya masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Rencana Allah yang sudah memilih kita di dalam Kristus, dikerjakan oleh Roh Kudus dinyatakan di dalam ruang dan waktu. Di dalam ruang dan waktu dikatakan bagaimana Roh Kudus bekerja, memimpin kita, melahirbarukan sehingga kita dapat percaya kepada kematian dan kebangkitan Kristus (ayat 4). Pada waktu saya percaya kepada Kristus, maka pada waktu itu darah Kristus yang menyucikan dosa saya dan kebangkitan Kristus yang sudah membenarkan saya, maka sekarang saya sudah diberikan hidup yang baru yaitu pengharapan pada masa yang akan datang walaupun baru nanti hal itu akan digenapkan.


Pada saat kita pertama percaya hingga menuju kekekalan, di sini terdapat satu proses yaitu sudah diselamatkan, sedang diselamatkan, dan akan menuju penggenapan keselamatan di kelak kemudian hari. Di dalam proses ini Alkitab mengatakan bahwa harus ada pencobaan. Jadi, pencobaan merupakan satu keharusan, kebutuhan vital kita untuk dibentuk menjadi sesuai dengan rencana Allah. Seperti yang dikatakan dalam I Petrus 1:6, "…, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita …" Di sini dikatakan "harus" dan bukannya "supaya" atau "mudah-mudahan". Mengapa harus? Beberapa penafsir mengatakan, "Karena tanpa adanya pencobaan, jangan harap kita dapat menjadi orang Kristen yang dewasa, yang diproses dan dibentuk oleh Tuhan." Di dalam kitab Yakobus dikatakan, "Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan" (Yak 1:2). Kalau kita masuk ke dalam pencobaan, maka itu memang rencana Tuhan untuk memproses kita. Waktu diproses memang sakit dan berdukacita, tetapi justru disitulah kita diproses oleh Tuhan. Semua itu tetap berada di dalam limitasi kontrol dari yang membuat. Itu sebabnya dikatakan bahwa pencobaan itu hanyalah seketika. Pencobaan akan menghasilkan dukacita tetapi itu hanya seketika, dan tidak selamanya.

Sekarang kita akan masuk ke dalam point yang kedua, manfaat pencobaan. Apakah manfaat dari pencobaan bagi hidup kita? Manfaat pencobaan ditulis di dalam ayat 7: "Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu." Jadi Pertama, ujian dapat membuktikan apakah kita orang Kristen sejati ataukah palsu. Seperti emas, ketika dimasukkan ke dalam perapian, akan dapat diketahui yang mana emas dan yang mana yang bukan emas karena yang bukan emas akan hancur, tersingkirkan dan dibuang, sedangkan emas terus diproses untuk lebih menunjukkan bahwa ia adalah emas. Jadi, tujuan pencobaan bukan untuk menciptakan iman, tetapi justru untuk menyatakan iman. Kalau saudara diproses maka itulah saatnya saudara menunjukkan bahwa iman saudara itu asli atau palsu. Ujian dapat melalui banyak hal. Pada jaman Petrus, mungkin ujian itu bisa berupa serangan dari dunia kafir yang benci kepada Kekristenan, sehingga orang Kristen ditekan, dianiaya, dan bahkan ada yang dibunuh. Itu adalah suatu pencobaan. Tidak mudah menjadi Kristen di jaman itu, itu merupakan suatu waktu di mana Kekristenan ditekan dari dunia luar. Ini adalah tujuan yang pertama. Tujuan pencobaan adalah untuk membuktikan bahwa kita ini asli, milik Allah, atau kita palsu yang kelihatannya milik Allah, tetapi sebenarnya kita hanyalah benalu yang menempel di dalam Gereja, yang suatu kali akan Tuhan tebas dan bakar.

Kedua, pencobaan berguna untuk memurnikan iman kita. Di ayat 7 dikatakan bahwa maksud pencobaan adalah untuk membuktikan kemurnian iman kita. Saat emas dibakar di dalam perapian, akan dapat diketahui mana yang emas dan mana yang bukan biji emas. Seringkali kita mengalami banyak gesekan, tetapi justru gesekan-gesekan itu dapat membersihkan. Saat emas diuji, maka disitu akan terjadi pemurnian demi pemurnian. Mungkin secara luar kita sudah kelihatan baik, orang melihat bahwa kita ini rohani, tetapi siapa yang tahu keliaran hati kita, pikiran kita dan hawa nafsu kita. Mungkin orang tua, suami atau isteri dan orang terdekat kita tidak tahu tetapi yang tahu hanya tiga yaitu setan, hati nurani kita dan Tuhan. Hal itulah yang membuat orang Kristen bukan orang yang di awan-awan.

Ada dua hal yang saya takut ada di dalam Gereja. Yang pertama senang melayani kalau hidupnya lancar, kaya, sehat dan diberkati. Sedangkan yang kedua senang mendengar khotbah yang hebat, akan tetapi setelah mendengarkan selama bertahun-tahun ia tidak dapat merealisasikannya. Kedua hal ini dapat menimbulkan kerawanan jika suatu kali terjadi krisis. Maka mereka yang berada di Gereja pertama hanya mempunyai dua kemungkinan, goncang atau ia tetap membius diri di dalam kebimbangan dia. Sementara itu, orang yang ada di Gereja kedua mungkin menjadi hopeless mencapai titik jenuh karena apa yang ia dengarkan selama bertahun-tahun ternyata tidak dapat diaplikasikan. Disini juga hanya ada dua kemungkinan: 1) Dia menolak untuk belajar teori yang tinggi dan hanya ingin yang praktis; 2) Dia mungkin masih mau mendengarkan khotbah yang tinggi tetapi hanya menjadi pendengar dan tidak pernah mau untuk bergumul. Iman Kristen adalah iman yang normal, yang harus didasarkan pada ajaran yang kuat namun demikian tidak dapat dilepaskan dari praktika hidup. Kita harus siap dimurnikan sampai Tuhan memanggil kita, itulah titik akhir dari proses itu. Setiap orang berbeda sehingga kita jangan menghakimi orang lain tetapi mari kita menilai diri kita sendiri karena kita hanya dapat melihat yang nampak dan tidak dapat melihat hati manusia.


Ketiga, pencobaan bertujuan agar kita lebih memahami firman. Martin Luther pernah berkata: "Justru di dalam kesengsaraanku aku memahami firman Tuhan." Ia adalah seorang yang lembut dan mau hidup suci tetapi tidak mampu. Baru di saat ia dicerahkan, ia tahu bahwa orang dibenarkan bukan oleh perbuatan tetapi oleh iman dan disitu ia semakin memahami firman. Terkadang kita dapat belajar firman dan tahu ayat-ayat dalam Alkitab tetapi ayat tersebut tidak pernah menyentuh hati yang paling dalam, kecuali saat kita berada di dalam satu proses pencobaan dimana firman menjadi bagian yang kuat dari kehidupan kita. Daud berkata: "Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu" (Mzm 119:71).
Keempat, pencobaan membuat kita lebih dekat kepada Tuhan. Waktu hidup kita lancar dan sukses, seringkali kita malas berdoa, dan baru waktu ada masalah kita dekat dengan Tuhan. Oleh sebab itu Tuhan pernah berkata bahwa susah bagi orang kaya untuk masuk ke dalam kerajaan sorga. Yang menjadi masalah di sini bukanlah orang kayanya, karena di Alkitab juga ada orang kaya yang penuh iman seperti Abraham tetapi seringkali kekayaan ini menjauhkan hubungan seseorang dengan Tuhan. Mengapa gereja-gereja di dunia barat yang makmur dan enak, justru kerohaniannya tidak pernah maju dibandingkan dengan negara-negara yang penuh dengan tindasan dan tekanan? Karena melalui banyak kesulitan mereka dapat semakin bergantung dan lebih dekat kepada Tuhan. Saat Gereja merasa makmur dan lancar, kita jarang menyediakan waktu untuk berdoa dan bergumul. Padahal doa merupakan salah satu aspek yang sangat esensial di dalam keberadaan kita sebagai orang Kristen dan Tuhan Yesus sangat memprioritas hal ini. Bagaimana orang itu di belakang tembok yang tertutup, dengan lututnya bertekuk dihadapan Tuhan, berdoa di dalam kesendirian maka disitulah kualitas kerohaniannya dinyatakan.

Kelima. Pencobaan membuat kita menjadi berkat. Di Timur ada pandangan bahwa saat emas dibakar di dalam perapian maka biji emas ini kemudian melebur sampai suatu kali bercahaya di dalam perapian sehingga wajah dari pandai emas ini terpantul melalui emas ini. Dengan kata lain, emas ini menjadi cahaya yang memancar dan mungkin ini yang dimaksudkan oleh Petrus. Waktu kita dicobai dan diproses, disitu justru hidup kita lebih bercahaya. Lagu "Salib-Nya-Salib-Nya" ditulis oleh seorang yang bernama Fanny Crosby, yang buta sejak berusia sepuluh tahun akibat kesalahan seorang dokter. Dia tidak membenci dokter tersebut tetapi justru ia bersukacita karena meskipun matanya buta, hatinya lebih terang daripada orang lain yang mempunyai mata dan ia dapat mengarang kira-kira 6000-8000 lagu rohani. Terkadang pencobaan yang kita alami dapat membentuk kita menjadi emas yang bercahaya, membuat kita menjadi orang Kristen yang tidak mundur walaupun berada di tengah-tengah tekanan. Ayub merupakan teladan yang amat indah yang jarang dialami oleh banyak orang dan hingga sekarang banyak orang yang dikuatkan. Tuhan memproses hidupnya selangkah demi selangkah hingga akhirnya ia memahami dan menulis satu ayat yang menguatkan saya: "Karena Ia tahu jalan hidupku: seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas." (Ayb 23:10). Biarlah ketika Tuhan mengijinkan pencobaan menimpa kita, biarlah kita tahu bahwa itu merupakan suatu keharusan bagi kita. Pada waktu kita diproses dan kita semakin bercahaya, maka saat kita kembali kepada Bapa, Tuhan akan berkata: "Engkau anak-Ku yang baik, engkau sudah melakukan tugasmu." Ada satu pujian dari Tuhan yang mengasihi kita dan itu adalah suatu keindahan karena kita dicipta sama seperti matahari yang menyinari bulan untuk memantulkan kembali kemuliaan itu di dalam dunia yang sudah gagal dan jatuh ke dalam dosa.
Kita telah mengerti bagaimana iman yang benar harus mengalami pencobaan. Manfaat dari pencobaan adalah: 1. Untuk menyatakan iman sejati. 2. Agar kerohanian kita mengalami pemurnian. 3. Agar semakin memahami kebenaran firman Tuhan. 4. Supaya kita lebih lebih berserah, bersandar dan berharap kepada Tuhan. 5. Supaya kita memancarkan cahaya kemuliaan Kristus dan boleh menjadi berkat. Kini kita akan meneliti apa iman yang sejati itu. Iman adalah harta yang Tuhan berikan di dalam diri manusia sehingga manusia berbeda dengan ciptaan yang lain. Iman adalah potensi yang diberikan sehingga manusia dapat terarah ke dalam empat relasi. 1. Di dalam relasi dengan alam materi. 2. Di dalam relasi dengan sesama. 3. Di dalam relasi dengan diri. 4. Di dalam relasi dengan Sang pencipta. Relasi terakhir ini sangat penting sekalli karena inilah yang akan mengatur seluruh relasi yang lain. Saat ini banyak orang menyatakan janji-janji dengan memakai nama iman, mulai dari hal yang paling sederhana sampai hal yang paling muluk. Apakah ini iman sejati? Dengan tegas saya mengatakan bahwa ini bukanlah iman yang sejati! Paul Tillich pernah mengatakan: “Sebelum kata iman ini digunakan untuk menyembuhkan orang lain maka kata iman ini harus disembuhkan dahulu”. Itu sebabnya, ketika kita membahas ini melalui I Petrus maka ada 3 point yang akan kita teliti: 1. Pengertian iman 2. Obyek iman 3. Rahasia Iman.

Pertama, Pengertian iman. Iman dalam bahasa Yunani dapat diterjemahkan keyakinan/ percaya. Tetapi kita melihat 3 macam penggunaan: a) iman dalam arti isi iman, sehingga disini iman berkaitan dengan ajaran. Misalnya: di salah satu suratnya Paulus mengatakan, “Aku sudah memelihara iman.” Berarti ia sudah memelihara ajaran sehat yang Tuhan percayakan kepadanya. b) arti iman yang paling sering digunakan oleh Alkitab adalah sikap bersandar kepada satu pribadi yaitu Allah. Jadi, iman di sini berkenaan dengan tindakan iman. Abraham menjadi bapa kaum beriman karena ia mempunyai iman yang melangkah. Ketika Allah meminta Abraham mempersembahkan anaknya, walaupun dia tidak paham apa sebenarnya maksud Allah tetapi dia tetap mau melangkah membawa anaknya ke gunung Muria. Kesulitan orang Kristen dewasa ini adalah justru di dalam faktor ini. Kita menyebut Allah dengan sebutan Bapa dan kita tahu bahwa Bapa kita tidak mungkin merencanakan sesuatu yang jahat tetapi waktu Tuhan tantang, kita seringkali sulit untuk mau melangkah. c) iman di dalam arti kata setia. Disini iman merupakan satu keteguhan, dapat dipercaya dan diandalkan. Itu mengakibatkan seseorang mampu berelasi dengan Allah dan menjadi orang yang setia.

Kedua, Obyek Iman. Iman berasal dari kata kerja transitif yang memerlukan obyek, karena tanpa obyek ia takkan mampu berdiri. Seringkali kita beriman pada iman, tetapi itu bukan iman yang sejati. Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa kita harus beriman kepada kuasa iman tetapi harus beriman kepada obyek iman sehingga Ia yang melakukan kuasa. Kedua hal ini tidaklah sama. Seringkali di saat seorang berdoa agar sembuh tetapi tidak dikabulkan, maka kita berkata bahwa ia lemah iman. Akan tetapi Kitab Suci tidak mengajarkan seperti itu. Di dalam Alkitab, iman hanyalah alat yang di dalamnya Allah bekerja. Jadi, kita tidak seharusnya beriman kepada iman, tetapi beriman kepada Obyek iman yang sejati.

Di saat Tuhan Yesus menyembuhkan orang sakit, apakah itu bergantung kepada iman orang itu? Tidak! Misalnya: di saat Tuhan berada bersama-sama muridNya di dalam perahu. Pada saat itu Ia tidur dan tiba-tiba badai datang menerpa, murid-muridNya begitu takut dan membangunkanNya. Yesus tidak bertanya apakah murid-muridNya punya kuasa iman ataukah tidak, Ia langsung menenangkan badai itu. Baru setelah badai menjadi tenang, Tuhan menegur para murid karena tidak percaya. Siapakah di sini yang melakukan kuasa? Tuhan, bukan iman! Pada waktu Tuhan membangkitkan orang mati, bagaimana caranya orang yang mati itu dapat beriman? Yang menentukan orang itu bangkit atau tidak bukanlah terletak pada iman, tetapi pada kedaulatan Tuhan. Bahaya yang kedua adalah di saat kita beriman pada perasaan iman. Dulu di saat saya berdoa minta sesuatu, saya paksa perasaan saya terangkat naik, saya membayangkan apa yang saya inginkan, dan saya mati-matian berdoa. Bahaya yang ketiga adalah di saat kita beriman pada isi iman Reformed lebih daripada kita mencintai Tuhan. Jika iman Reformed yang kita percayai tidak membuat kita lebih dekat pada Tuhan, maka kita sedang berada di dalam keadaan yang berbahaya.

Seumpama ada seorang yang mengajak saya pergi ke Eropa. Waktu itu musim dingin dan orang itu mengajak saya berjalan di atas suatu danau yang ditutupi oleh lapisan es. Waktu saya berjalan di atas es itu, saya merasa amat takut. Saya ragu-ragu akan kekuatan es itu menahan bobot saya. Tetapi orang yang mengajak saya itu dapat dengan tenang duduk di sana dan memancing. Jadi, pada saat itu saya kurang iman, sementara ia sangat beriman kepada kekuatan lapisan es itu. Sekarang pertanyaannya: “Apakah imannya dan iman saya yang menjadi jaminan keamanan kami?” Tidak! Yang membuat kami aman bukan iman kami tetapi kekuatan es itu. Jadi, di saat kita percaya pada sesuatu yang sanggup menahan kita, maka kita akan aman karena sesuatu itu akan sanggup menjaga kita agar tidak jatuh. Meskipun iman saya pada es itu kecil, tetapi saya tidak jatuh karena kekuatan es itu memang tidak ditentukan dari iman saya.

Ketiga, Rahasia Iman. Bagaimanakah kita dapat mempunyai iman yang kuat dan sekaligus benar? Kita dapat menemukan iman seperti ini jika kita mengerti rahasia iman. Rahasia iman terjadi di saat kita dapat melihat apa yang tidak kelihatan. Kalau kita berhenti hanya pada apa yang kelihatan, maka kita tidak akan pernah dapat menemukan rahasia iman.

Di dalam salah satu penelitian science, dicetuskan tentang adanya realitas paralel. Maksudnya, di dalam dunia fisik ini sebenarnya terdapat satu dunia lain yang tidak dapat kita lihat karena keterbatasan mata kita. Oleh sebab itu kita tidak dapat berkata bahwa kita hanya percaya pada apa yang dapat kita lihat. Hal yang sama juga berlaku pada realita rohani. Jika Allah dapat dimengerti dengan pikiran kita yang terbatas, maka itu berarti Allah lebih kecil daripada pikiran kita. Alkitab mengatakan: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat” (Ibr 11:1,3), atau “Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2 Kor 4:18). Pada waktu iman kita menerobos kekekalan, maka walaupun kita melihat dunia berubah, kita masih mempunyai kekuatan. Tetapi kalau iman kita hanya tertuju pada apa yang kita lihat, misalkan uang kita, maka saat uang kita amblas, iman kita akan mulai goncang. Oleh sebab itu, rahasia iman terletak pada melihat apa yang tidak kelihatan.

Di saat Musa di Mesir, ia sebenarnya dapat hidup enak, tetapi penulis Ibrani mengatakan: “Karena iman maka Musa, setelah dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun, karena ia lebih suka menderita sengara dengan umat Allah dari pada untuk sementara menikmati kesenangan dari dosa. Ia menganggap penghinaan karena Kristus sebagai kekayaan yang lebih besar dari pada semua harta Mesir, sebab pandangannya ia arahkan kepada upah. Karena iman maka ia telah meninggalkan Mesir dengan tidak takut akan murka raja. Ia bertahan sama seperti ia melihat apa yang tidak kelihatan” (Ibr 11:24-27). Rahasia iman kita tidak ditentukan dari seberapa kita kaya, seberapa tinggi kedudukan kita, tetapi apakah iman kita terkait Sumber yang tidak berubah, yaitu Allah yang ada di kekekalan.

Dari sejak kita diselamatkan hingga mati, kita berada di tengah proses. Di dalam proses ini, jika kita terkait dengan kekekalan, maka kita akan memiliki apa yang disebut dengan TEKUN, yaitu singkatan dari:

T = Terkait dengan yang tidak kelihatan.
E = Erat bersekutu dengan Tuhan.
K = kuat menanggung beban berat.
U = Ulet menghadapi cobaan.
N = Niat untuk memuliakan Kristus.

Itulah TEKUN..! Orang yang punya pengharapan yang sejati kepada kekekalan sadar bahwa dunia ini hanya sementara dan kekekalan adalah harta yang paling indah. Maka di saat ia kehilangan apapun ketika berada di dalam dunia, ia tetap mempunyai kekuatan di dalam menghadapinya.





0 komentar:

Posting Komentar