-->

Profil Hamba Tuhan

Foto saya
Jakarta, Indonesia
Seorang Hamba Tuhan yang memiliki kerinduan untuk dapat memberkati banyak orang melalui Pastoral Konseling, dengan berbagai hal dan cara, salah satunya adalah melalui fasilitas dunia maya (Internet). Riwayat Pendidikan Teologi: - Sarjana Theology (S. Th) jurusan teologi, 1999. - Master of Art (M. A) jurusan Christian Ministry, 2002. - Master of theology (M. Th)Thn 2010. - Doctor of Ministry (D. Min)Thn 2009. God Bless You All.

Pendahuluan

Shallom, selamat datang di blog saya Pdt. Denny Harseno, M. A., D. Min. Saudara, saya senang sekali jika dapat memberkati saudara sekalian melalui setiap tulisan-tulisan dan artikel-artikel yang ada pada blog ini. Jika saudara ingin membaca setiap tulisan-tulisan dan artikel-artikel terdahulu yang ada pada blog ini, saudara cukup memilih label daftar isi blog atau dengan memilih pada arsip blog yang ada di samping kiri blog ini, dan silahkan mengisi buku tamu blog saya dibawahnya, agar saya dapat mengetahui siapa saja yang telah berkunjung diblog saya. Terima kasih atas perhatiannya, Tuhan Yesus Kristus memberkati.

03 Juni 2009

Tujuan Sebuah Keluarga Bagian 5

Tujuan keluarga yang ketiga adalah Tuhan menginginkan keluarga itu kudus karena ini menjadi sifat Allah yang ingin dinyatakan melalui keberadaan keluarga. Kata kudus dengan suci merupakan dua kata yang sangat terkait erat sekalipun kudus dengan suci mempunyai pengertian yang berbeda. Kudus mempunyai pengertian dikhususkan/dipisahkan untuk satu tugas yang Allah ingin kerjakan melalui mereka dan di dalam diri mereka. Sebagai orang kudus kita dipisahkan dan mempunyai relasi khusus dengan Allah, dan specifikasi ini membuat hubungan kita dengan Allah baik. Namun ketika hubungan yang baik ini dirusak atau diselewengkan (ketika kita memiliki ilah lain), itu disebut sebagai perzinahan rohani. Dan untuk menghindar dari hal itu, kita mengkaitkannya dengan kesucian, dan inilah yang membuat tiga kata itu tercampur menjadi satu. Maka dalam aspek ini kita harus kembali memilah dan mengerti sifat kudus yang dinyatakan dalam ayat 24.


Ketika seorang laki-laki dipisahkan dan bersatu dengan isterinya, dan keduanya menjadi satu daging, maka mulai muncul sifat kekhususan atau exclusive dalam keluarga tersebut, yang meliputi beberapa aspek: pertama, Two become one (1 + 1 = 1). Alkitab jelas menegaskan bahwa konsep kudus pernikahan adalah satu pria (tunggal) dan satu wanita (tunggal) sehingga keduanya menjadi satu daging, dan kalimat ini diulang beberapa kali dengan kata dan jumlah angka yang tepat. Pernikahan Kristen adalah monogami murni dan mutlak supaya terjadi kesempurnaan. Tetapi apabila kesempurnaan itu ditambah ataupun dikurangi akan mengakibatkan kerusakan internal karena menjadi tidak sempurna. Maka monogami di dalam kekristenan bukan sekedar rekayasa manusia tetapi didalamnya ada unsur bagaimana kekekalan dan kesempurnaan ingin digenapkan melalui keluarga dan bagaimana manusia, pria dan wanita sedang menggambarkan satu komplementasi yang sangat penting untuk menjaga kekudusan mereka di dalam menjalankan misi Allah. Politik di dunia membuat komposisi pria-wanita menjadi tidak seimbang karena setiap tahun berjuta-juta pria dikorbankan dalam peperangan. Namun hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan mereka yang poligami, justru yang harus mereka lakukan adalah menghentikan peperangan dan komposisi dikembalikan. Tetapi hal itu akan sangat sulit dilakukan akibat dosa sudah merusak moralitas dunia kita. Di jaman Musa (+ 1600 SM), ide monogami bukanlah konsep umum yang dapat diimport melainkan konsep murni yang Allah tetapkan, yang menjadi perbedaan besar antara iman Kristen dengan seluruh konsep dunia hingga hari ini. Sehingga betapa indah kalau Tuhan mengajarkan suatu pengertian moralitas yang begitu tinggi untuk menjaga harkat manusia di dalam satu keutuhan supaya keluarga tetap kudus dan dipakai Tuhan sebagai saksi menyatakan kemuliaanNya. Namun sekarang ketika hukum sedang memperjuangkan harkat wanita, ada wanita yang senang dimadu. Ini menjadi pertanyaan serius bagaimana caranya harkat seorang wanita dapat ditegakkan dengan baik kalau ide seperti itu yang dikembangkan ditengah abad 20 ini?


Kedua, Monolitik eksklusif – suatu ungkapan keutuhan komplementasi. Nuansa eksklusifitas keluarga terjadi ketika suatu keluarga mempunyai bentuk monolitik (mono=satu; litik= satu batu utuh yang keras dan tidak dapat dipecahkan), yang artinya menjadi satu kesatuan yang unik, kekal dan sangat terikat. Hal yang penting dalam bagian ini adalah ketika seorang pria menikah, prinsip yang pertama kali yang harus dipikirkan adalah ia harus berani bertanggungjawab menjadi mandiri. Pria yang belum mampu berdiri, belum mampu bertanggungjawab dan tidak tahu bagaimana mengurus keluarga maka ia belum layak untuk menikah karena ia belum dewasa! Seorang pria harus mempunyai digniti, keberanian dan berjuang sekuat tenaga bekerja karena ia bertanggungjawab atas istri dan anaknya, membangun keluarga menjadi satu keutuhan monolitik eksklusif. Satu jiwa yang tidak boleh cengeng dan lemah melainkan terus berani berjuang di tengah hidup.


Ketiga, Independence and Responsibility (meninggalkan ayah dan ibu). Dilain pihak orang tua tidak boleh mengacak-acak keluarga anaknya. Anak setelah dewasa dan menikah maka ia keluar dan lepas dari ikatan keluarga dengan ayahnya. Seringkali di dalam budaya timur, apalagi dalam konsep confusionism aspek ini sangat berbahaya karena tidak mempunyai konsep Allah yang berpribadi dan yang berdaulat, sehingga ide seluruhnya hanya menegakkan humanisme murni. Sehingga konsep kedaulatan otoritas dipindahkan ke konsep yang paling tua/ paling besar dan timbul konsep otoritas ditangan yang lebih tinggi dan tidak bisa salah (seperti: raja berkuasa atas bawahannya; orang tua berkuasa atas anaknya). Maka kalau keluarga dikuasai oleh konsep confusionism, biasanya yang terjadi: ayah menjadi diktator dan semua yang dilakukan orang tua adalah benar dan tidak ada protes; biasanya istri takut sekali terhadap suami sehingga banyak aspek yang tidak dapat diceritakan pada suami, khususnya yang bersifat negatif. Sehingga hubungan suami-istri tidak dapat “telanjang” lagi; dan anak-anak ketika di dalam rumah bersikap baik karena takut tetapi diluar rumah menjadi minder atau liar (kalau mempunyai jiwa berontak). Alkitab mengajarkan bahwa bagaimanapun ayah adalah orang dan dapat berbuat salah sehingga ketika anak mereka sudah menikah maka orang tua tidak berhak turut campur dalam urusan keluarga anak, sekalipun anak tetap harus hormat terhadap orang tua. Karena hormat bukan berarti taat mutlak melainkan bagaimana menghargai orang tua. Disini kita harus sadar bahwa setiap keluarga mempunyai satu keunikan monolitik yang dijaga oleh firman Tuhan dan firman Tuhan mempunyai satu tuntutan bagaimana keluarga itu nanti akan dipakai oleh Tuhan untuk menjadi saksi Tuhan dimanapun mereka berada.


Banyak orang yang beranggapan salah bahwa anak merupakan milik mereka sehingga kita merasa berhak menentukan seluruh kehidupannya. Kita harus sadar bahwa setiap anak merupakan milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita sehingga kita harus membesarkan dan mendidik dengan tepat dan bertanggungjawab pada Tuhan. Banyak keluarga muda harus diam-diam menghadapi kesulitan dan pertengkaran dikarenakan harus menuruti orang tua dan tidak dapat menjalankan kehendak Tuhan atas pernikahan mereka serta kehilangan otoritas. Maka sebagai orang tua kita harus belajar bagaimana mengerti wilayah kerja, nasehat dan pengaruh orang tua terhadap anaknya. Dan firman Tuhan dalam hal ini melalui Musa menegaskan bahwa ini merupakan satu pengertian umum yang harus diterapkan kepada semua manusia di segala jaman, dan bukan hanya untuk Adam dan Hawa saja.


Keempat, Holiness/ Kesucian – tidak tercemar vs. Nude. ay. 25 mengatakan: “Keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.” Alkitab membedakan antara arom/ naked (arumim: plural) dengan “’nude”. Kata “arom” lebih menunjukkan satu keterbukaan spiritual dimana antara saya dengan orang lain sudah terjadi keterbukaan relasi yang tanpa batasan lagi. Kata “telanjang” saat ini sudah mengalami pengerusakan makna dan diselewengkan sehingga menjadi pengertian yang sangat duniawi sekali. Disini yang dipermasalahkan bukanlah telanjang-nya melainkan keutuhannya, yaitu suatu gambaran keintiman. Sehingga beda dengan kata “nude” yang lebih mengarah kepada ketelanjangan secara fisikal/ seksual. Maka ide tidak malu disini tidak sama dengan binatang atau nudisme karena pada binatang memang tidak perlu ada malu sedangkan malu yang sejati bukan atar manusia melainkan lebih kepada Allah (band Kej. 3:9). Ketika dikatakan keduanya telanjang dan tidak menjadi malu, yang ditekankan di dalam kalimat ini adalah keduanya berada dalam satu keterbukaan total sehingga relasi ini berjalan secara polos dan tidak ada hal yang perlu disembunyikan dan tidak ada satu ketakutan berhadapan dengan orang lain. Maka ketika Adam berdosa dan akan berhadapan dengan Allah ia merasa malu karena telanjang. Sehingga ide “malu” adalah penggambaran suatu kecemaran dimana relasi sudah tidak murni lagi akibat dosa! Demikian juga halnya dengan hubungan suami-istri yang sudah tercemar oleh hal-hal yang berdosa akan mengakibatkan mereka kehilangan hubungan relasi pribadi yang sangat eksklusif. Dengan demikian di dalam membicarakan keluarga as a holy family kita harus kembali melihat bagaimana sifat kekudusan yang Tuhan nyatakan di dalam format keluarga tersebut, dimana hubungan suami-istri yang terbuka, menjadi satu daging dan satu kesatuan relasi spiritual yang begitu indah.


Kelima, Spirituality vs. Sexuality. Keil dan Delitzsch melihat relasi suami-isteri yang masih dalam kesucian adalah “terbuka” dan “tidak malu.” Sehingga ide “telanjang” disini bukan merupakan ide fisikal melainkan spiritual (kerohanian kita) dimana satu hubungan batin antara kita dengan suami/ istri sama dengan hubungan kita dengan Allah yang dapat berjalan dengan baik satu sama lain. Sehingga ini perupakan aspek yang sangat serius dari arti pengudusan keluarga. Namun ketika dosa masuk, maka spiritualitas menjadi rusak dan manusia hanya melihat “ketelanjangan”/sifat seksualitas dan bukan “keterbukaan” ataupun sifat spiritual. Maka hubungan suami-istri hanya dilihat secara seksual dan bukannya spiritualm yang akhirnya menimbulkan banyak masalah karena sangat bersifat kedagingan. Aspek seksualitas sesungguhnya hanya menjadi pelengkap dan bukan merupakan tujuan yang utama dalam pernikahan. Disini tidak heran ketika dunia mendengar kata “telanjang” selalu beridekan seksualitas yang tanpa sadar sudah meracuni banyak orang, termasuk orang Kristen, sehingga kita tidak mampu lagi melihat apa artinya telanjang sebenarnya. Sehingga kita sebagai orang Kristen harus mengembalikan pengertian eksklusifitas sifat kudus yang tidak melanggar kesucian, karena ketika kita kudus, itu bukan berarti kesucian kita boleh dicemarkan melainkan kekudusan itu sangat terkait erat dengan sifat kesucian di dalam keluarga. Saya harapkan keluarga kita mempunyai konsep Kristen yang tepat sehingga relasi spiritual suami-istri juga boleh dipulihkan. Kitab Kejadian ps. 2 telah ditulis sejak 3600 tahun yang lalu, namun seringkali orang Kristen sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk menyatakan diri ke tengah dunia.


Mari kita belajar baik-baik dan terus memperbaharui diri, dan kembali bertekad membina keluarga, belajar menjadi pengaruh bagi orang lain sehingga kita boleh menjadi berkat di dunia, di abad ini.


0 komentar:

Posting Komentar